Ketika Aku Pasrah menikmati
Ujian-Mu II
Oleh : Alfi Elfath
SMA
Islam terpadu Al-Ishlah adalah tempat Pengabdianku selanjutnya. Alhamdulillah
aku sekarang bekerja disini sebagai guru PAI. Hari-hariku sungguh menyenangkan.
Ya, karena ada seorang yang setia menemani lelahku. Meski kami berjauhan, aku
di Jakarta dan Yasmin di Garut, tapi kami tetap berkomunikasi untuk menjaga
ritme rasa cinta kami. Hanya dua hal yang kami lakukan. Pertama, saling
mempercayai. Ini modal utama kami berdua membangun cinta. Kayakinan adalah
suatu kekuatan dalam membangun cinta. Kedua, komunikasi. Tidak hanya sebatas
percaya, tetapi menjaga komunikasi juga sangat penting dalam rangka menjaga
ritme rasa cinta agar selalu istiqomah.
Sebentar
lagi aku masuk di kelas XII, aku masih terdiam dalam meja kerjaku membaca
kembali materi yang akan ku sampaikan pada para siswa. Tak ketinggalan RPP
sudah terbujur rapi di atas meja yang telah ditandatangani oleh bapak kepala
sekolah. Bel berganti, giliranku untuk masuk kelas. Buku materi, daftar Absen
dan daftar nilai telah berada dalam pelukanku. Tak lupa spidol dan ballpoint “nyantel”
di saku kiriku. Bismillahirrahmanirrahim. Aku melangkahkan kakiku masuk
kelas.
45 menit kemudian, ada suara bel.
“Kriiiiing,
kriiiiiing,”Tanda bel istirahat begitu nyaring di telinga civitas Akademika SMA
Islam Terpadu Al-Ishlah.
Aku
keluar kelas, berjalan menuruni tangga untuk menuju kantor. Di kantor sudah
ramai dengan kicauan guru-guru. Mengobrol kesana kemari. Ada juga yang setia
menyeduh kopi hitam. Ada juga yang sibuk mengerjakan pekerjaannya di meja
kerjanya.
“Assalamu alaikum,
rekan guru semuanya mohon maaf mengganggu istirahatnya, saya perkenalkan guru
baru, menggantikan bu Heni yang pindah dari sekolah ini. Namanya Ibu Azalia
Elfathia Zahra. Baru lulus dari UIN Jakarta. Dia akan mengajar mata pelajaran
Biologi.” Bapak kepsek memperkenalkan.
Aku kaget, jantungku
kembali bergetar. Jiwaku kembali takut, takut cintaku teriris lagi. Tanpa
dikenalkan pun aku sudah tau dirinya. Ya, sudah tau, dia lah yang telah
melabuhkan cintaku. Menghidupkan kembali cintaku. Namun keluarganya lah yang
telah membunuh cintaku. Menguburkan harapanku kepadanya.
“Silahkan bu Azalia,
pangilannya apa?” tanya pak Kepsek.
“Lia, Pak,” jawabnya
lembut.
“Silahkan bu Lia,
duduk di meja dekat Pak Firman. Meja itu dulu dipakai oleh bu Heni.” Pak Kepsek
mempersilhakan.
Azalia segera duduk di
samping mejaku. Dia menghampiriku yang sedang duduk di meja kerjaku. Kami
bertemu kembali dan saling melempar senyum.
“Wah, ada guru baru,
lebih muda lebih semangat.” Tanggap Pak Mustofa.
“He, he, he, sudah,
sudah, Pak Mustofa kan sudah punya.” Timpal Bu Yuyun.
“Ha, ha, ha, bercanda
Bu, tinggal satu lagi guru yang belum nikah di sekolah ini. Yah, Pak Firman.”
Jawab Pak Mustofa memberi isyarat padaku dengan mengerdipkan matanya.
Semua guru tahu
satu-satunya guru yang belum menikah di sekolah ini adalah diriku. Mereka tidak
tahu bahwa sebenarnya aku sudah punya seseorang yang kucintai. Selama ini aku
menyembunyikannya dari mereka. Enam bulan lagi aku akan menikah dengan
kekasihku.
“Iyah, pak Firman sama
Bu Lia kita jodohkan saja, he, he,” tanggap Bu yuyun.
Aku hanya tersenyum.
Tak ada tanggapan satu kata pun dariku.
Begitulah guru-guru di
SMA Islam Terpadu Al-Ishlah, bercandanya kadang keterlaluan, tapi itu menjadi
bumbu tersendiri untuk menghilangkan kejenuhan ketika mengajar.
“Apa kabar Bu Lia?”
tanyaku sambil berpura-pura membaca buku.
“Alhamdulillah sehat
pak. Apa kabarnya Pak Firman?” tanya Azalia.
“Alhamdulillah sehat,”
jawabku dingin.
Setelah percakapan
itu, kami saling diam. Aku masih sakit hati terhadap keluarganya. Walaupun
Azalia tak bersalah. Namun tetap saja sedikit kesal terhadapnya. Ya, kesal
tidak memperjuangkan cintanya untuk melawan keegoisan ayahnya.
“Kriiiing,
kriiiing,” tanda bel masuk.
sebagian
guru-guru mempersiapkan diri mereka untuk masuk kelas. Sebagian yang lain masih
rajin di meja kerja masing-masing, termasuk aku yang masih terdiam di mejaku.
“Pak
Firman, maafkan atas kesalahanku.” Sahut Azalia mengejutkan diamku.
“Maaf
untuk apa?” tanyaku.
“Maafkan
aku atas keputusan ayahku. Mungkin itu sangat menyakitimu.”
“Sudahlah,
aku sudah tidak memikirkannya lagi. Oh ya, kenapa kamu bisa disini, bukannya
kamu mau study lagi ke Mesir?”
“Itu
hanya alasan ayah saja untuk menolakmu. Ayah berteman dekat dengan pak Kepsek
SMA IT ini. Beberapa minggu yang lalu, beliau berkunjung ke rumah dan sedang
mencari guru pengganti. Akhirnya ayah dan pak kepsek itu sepakat memilihku
untuk bekerja di tempat ini. Sungguh bukanlah kebetulan, Allah mempertemukan
kita disini.” Penjelasan Azalia mendiamkanku.
Aku
masih sakit atas perlakuan ayahmu, Lia, marahku dalam Hati.
Aktivitasku
berjalan seperti biasa. Pagi-pagi berangkat sekolah, sore hari kembali lagi ke
kosanku sampai pada akhirnya ada yang mengganggu perasaanku. Tak jarang bapak
kepala sekolah menjadikanku dengan Azalia satu Tim dalam setiap kepanitiaan.
Gara-gara hal itu, aku dekat kembali dengannya. Aku berusaha dingin padanya. Akan
ku jawab seperlunya jika dia memerlukan bantuanku. Perlahan seiring bergulirnya
waktu, kebaikan Azalia membuatku luluh, perhatiannya mampu meruntuhkan
kebencianku padanya.
Kebaikan
yang selalu dilakukannnya kadang merapihkan mejaku yang berantakan ketika aku
tidak ada. Suatu ketika, aku pulang terburu-buru karena ada keperluan mendadak.
Aku tak sempat merapihkan majaku yang dipenuhi beberapa buku yang acak-acakan.
Keesokan harinya aku melihat majaku rapih dan bersih. Siapa yang merapihkan
mejaku? Tanyaku dalam hati. Kejadian itu tak hanya sekali. Kalau aku tak
sempat merapihkan meja kerjaku, pasti keesokan harinya sudah rapih kembali. Aku
berfikir untuk menebak kira-kira siapa yang merapihkan mejaku.
Siapa ya? Guru-guru
disini terlalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri, mana mungkin sempat
merapihkan mejaku. Apa mugkin Azalia? Aku bergumam
dalam hati. Ah lebih baik aku tanyakan saja kepada guru yang terakhir pulang.
Biasanya bu Yuyun selalu pulang paling akhir.
Dari berita yang
disampaikan Bu Yuyun kini ku tahu siapa yang selalu merapihkan mejaku. Ternyata
sangkaanku benar, Azalia lah yang selalu merapihkan meja kerjaku. Di lain
kesempatan,dia selalu membawakan sarapan pagi. Dia tahu kalau diriku kadang tak
sempat sarapan pagi.
“Belum sarapan pagi
kan?” tanya Azalia disamping meja kerjaku. “Ini saya bawakan nasi hangat dengan
tumis kangkung.” Sahutnya sambil menyodorkan makanan kepadaku.
Aku bingung harus
bagaimana, rasanya tidak enak kalau menolak permintaan orang lain. Akhirnya ku
terima tawaran dari Azalia. Setiap hari dia selalu membawakan sarapan pagi
untukku. Aku merasa tidak enak padanya dan sungguh sebenarnya aku sudah luluh
dengan kebaikan yang diberikannya. Aku merasa harus minta maaf atas sikap
dinginku ini. Akhirnya aku meminta maaf padanya.
“Bu Lia, saya mohon
maaf atas sikap saya selama ini kepada ibu, mungkin ibu kesal melihat ini
semua.” Sahutku sambil duduk di kursi kerjaku di temani dengan Azalia yang juga
duduk di kursi kerjanya.
“Iya, pak tidak
apa-apa, saya sudah maklum dan terima, bapak mungin seperti ini masih benci dan
kesal kepada saya dan keluarga saya.” Jawab Azalia dengan menunduk.
“Terus terang bu, saya
memang masih memendam rasa benci di hati ini. Tapi sikap seperti ini tidak
baik, saya berusaha menerima takdir ini. Kini dirimu sudah milik orang lain.”
Jawabku dengan merasa bersalah.
“Iya pak tidak
apa-apa.”
“Bagaimana dengan kang
Syamsul, apa dia baik-baik saja?” Tanyaku menanyakan calon suaminya. Tiba-tiba
wajah cantiknya berubah menjadi muram. Terlihat matanya berkaca-kaca.
“Maaf, Pak, saya mau
ke kamar mandi dulu.” Jawab Azalia sambil berlalu menuju kamar mandi.
Apakah aku salah
menanyakan pertanyaan itu. Aku merasa tak enak hati telah menanyakan suatu hal
peribadi kepadanya.Maafkan aku Azalia.
Seiring
berjalannya waktu, aku dan Azalia berteman seperti biasa, manjadi partner kerja
yang saling mendukung. Tidak ada rasa dingin dari sikapku. Ku anggap dia
sebagai partner dan temanku tidak lebih dari itu. Sama seperti
sebeum-sebelumnya Azalia membawakanku sarapan pagi. Dia tahu kalau aku jarang
sarapan pagi. Dia selalu merapihkan meja kerjaku. Terkadang dia memperhatikan
baju dan semua yang ada pada diriku.
“Pak,
cukur dong rambutnya udah panjang.” Lia menasehati sambil bercanda.
“He,
he, iya bu, nanti besok saya cukur.” Jawabku sengan tawa malu.
“Itu
juga, baju kurang rapih setrikaannya.”
“He,
he, he,” jawabku dengan malu.
Perhatiannya
membuatku tergoda, perasaanku mulai berubah. Tadinya ku anggap dia teman. Namun
perhatiannya meluluhkan hatiku. Aku tak mendapat perhatian nyata seperti ini
dari Yasmin. Apalagi kami terpaut jauh, hanya perhatian SMS yang ku dapat dari
Yasmin. Hasratku mulai mencintainya lagi. Namun, hatiku berusaha menolaknya.
Yang ada dalam hatiku hanya satu, Aziza Nurfahira Yasmin. Itulah nama yang
telah terpatri dalam hatiku. Cinta pertamaku. Aku berusaha menampik rasa ini
terhadap Azalia. Dia sudah menjadi milik orang lain. Sudah manjadi milik
Syamsul, kakak kelas ku dulu di SMA dan di pondok. Aku berusaha mengistiqomahkan[1]
cintaku pada Yasmin. Dialah yang akan menjadi pendamping hidupku selamanya
sampai akhirat kelak. Aku berusaha menepikan kekaguman ini pada Azalia. Suatu
hari nanti perhatian Yasmin akan lebih dari ini. Hanya sedikit bersabar untuk
kami berdua menuju pernikahan.
Sudah
beberapa minggu ini aku tak dapat kabar dari Yasmin. Aku berusahamengirim SMS,
tapi selalu Pending, aku berusaha menghubunginya namun tidak aktif. Aku
mulai khawatir terhadapnya. Apa yang tejadi dengan Yasmin? Aku berusaha
menghubungi pondok pesantren Al-Falah tempat tinggal Yasmin, mereka hanya menjawab
Yasmin baik-baik saja. Namun, hatiku punya firasat yang berbeda. Aku tak bisa
pulang ke Garut karena kesibukanku sebagai guru yangtidak bisa ku tinggalkan.
Hanya berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk kesahatan Yasmin.
Di
sisi lain perhatian Azalia membuatku menggoda keistiqomahanku. Dia
selalu berusaha memberikan perhatian kepadaku. Dia seakan menjadi pelengkap
dari kekuranganku. Aku berusaha istiqomah akan cintaku. Pada Akhirnya ku
berinkan diri untuk bertanya sesuatu tentang perhatiannya kepadaku. Seperti
biasa aku dan dirinya duduk di bangku masing-masing di ruang kantor.
“Bu,
boleh saya bertanya sesuatu?”
“iya,
silahkan.” Jawabnya sedang menuliskan sesuatu yang aku tak tahu apa itu.
“Bu, kenapa ibu begitu
perhatian kepada Saya?” tanyaku.
Dia tiba-tiba berhenti
menulis. Dia menghela nafas. Air matanya berkaca-kaca.
“Mohon maaf, pak.
Tolong jangan tanyakan itu kepada Saya, maaf pak, saya sedang sibuk.” Jawabnya
dengan mata berkaca-kaca dan melanjutkan untuk menulis.
Aku marasa bersalah
telah menanyakan hal itu kepadanya.
“Maafkan saya bu.”
Jawabku untuk kedua kalinya merasa bersalah.
***
Selesai
shalat isya dan mandi, akhirnya ku buka emailku, ternyata ada email
masuk.
“Assalamu alaikum,
mohon maaf mengganggu, mohon maaf selama ini pertanyaanmu tak langsung aku
jawab. Biarlah lewat Email ini ku jawab semua pertanyaanmu. Aku tak mau kau
melihatku bersedih. Kang Firman yang dimuliakan Allah, sejujurnya aku tak
mencintai Syamsul. Hatiku tak mampu menyimpan cintanya kepadaku. Perlu kamu tahu,
Kang Syamsul adalah kakak kelasku di UIN Jakarta. Semenjak kuliah dulu,dia selalu
mengejar cintaku, namun beberapa kali aku tolak. Dia berusaha datang kepada
orangtuaku. Namun aku berusaha melarangnya sampai pada akhirnya ketika aku
menemukan cintaku kepadamu dia memaksakan datang ke rumah tanpa
sepengetahuanku. Aku terkaget akan kedatangannya. Apa yang aku takutkan
terjadi, dia berniat melamarku dan mengambil hati ayahku dengan kemewahannya. Bukan
aku berniat membuka aib seseorang, tapi hanya memberi alasan tentang
penolakanku padanya. Di kampus dulu, Syamsul terkenal dengan “playboy” nya,
sudah banyak perempuan yang menjadi korban. Dengan kekayaannya dia begitu
gampang merayu semua perempuan di Kampus. Banyak sahabatku yang luluh dengan
kegantengan dan kekayaannya. Aku tak mau tertipu seperti kebanyakan perempuan
lain. Sekarang kang Syamsul jarang menghubungiku. SMS pun jarang. Aku dengar
dari temannya kalau Syamsul sekarang sedang mendekati orang yang dicintainya
dulu di pondoknya. Katanya anak Kiyai pimpinan di pondoknya dulu. Mungkin
wanita itu lebih cantik dariku sehingga dia mendekatinya. Syamsul benar-benar
jahat, dia mempermainkan keluargaku. Aku tak mencintainya. Yang ku cintai
hanyalah engkau, Firman. Ternyata Allah mempertemukan kita kembali dalam satu
pekerjaan. Apa yang ku lakukan hari ini, perhatianku padamu hanyalah sebagai
kewajibanku padamu, aku ingin berkhidmat kepadamu, aku ingin mengabdikan diriku
padamu sampai kau menemukan jodohmu. Aku ingin berkhidmat padamu karena kau
adalah guruku. Guru yang telah mengajariku tentang arti cinta yang
sesungguhnya. Aku mencintaimu, Firman.Maafkan aku Firman, karena aku telah
lancang, tapi harus kemana kah hati ini berlabuh.
Yang lemah,
Azalia Elfathia Zahra
Itulah Email masuk dari Azalia yang membuatku mencucurkan air
mata. Aku kasihan kepadanya. Dia menjadi korban keganasan Syamsul. Selain
mencucurkan air mataku, aku juga terkaget, dia ingin Mendekati Yasmin kembali.
Syamsul
terlahir dari orang yang kaya. Yang aku tahu, Ayahnya adalah Donatur tetap
Pondok Pesantren Al-Falah. Pondok pesantren Al-Falah menjadi megah dan terkenal
berkat jasa Ayahnya Syamsul. Semasa di pondok dulu, aku dan Syamsul satu kamar.
Dia sempat cerita tentang perasaannya kepada Yasmin. Bahkan sempat
mengungkapkan perasaannya pada Yasmin. Namun di tolak oleh Yasmin karena Yasmin
Tak mencintainya.
Ternyata
kini Syamsul masih mengejar cinta Yasmin. Aku marah padanya. Aku tak rela kalau
orang yang ku cintai direbut oleh orang lain. Aku yakin, disana Yasmin juga
akan mempertahankan cintanya padaku. Tak akan mudah terbuai rayuan Syamsul. Tapi
aku tak bisa apa-apa. Aku tak bisa menghubunginya. Handphonenya tak
pernah lagi aktif beberapa minggu ke belakang. Apa yang terjadi?Itu pertanyaan
yang membuatku cemas dan takut. Takut jika Yasmin terjatuh ke dalam buaian
Syamsul.
Akhirnya
ku putuskan untuk meminta Izin kepada kepala sekolah untuk tidak masuk selama
seminggu kedepan. Ada keperluan keluarga yang tak bisa ku tinggalkan. Aku berangkat
ke Garut untuk menemui kekasihku Yasmin. Tiba di Garut dengan keadaan capek dan
lelah, ku beranikan diri untuk bertemu dengan Mama` Kiyai Zezen. Kiyai Zezen
duduk bersandar di kursinya. Aku pun duduk tertunduk di hadapannya. Sepertinya
beliau ingin mengungkapkan sesuatu.
“Firman
anakku, maafkan bapak, ada beberapa hal yang ingin bapak sampaikan, sudah
beberapa minggu ini Yasmin sakit, ada beban pikiran yang sangat mengganggunya.
Dalam tidurnya dia selalu memanggil satu nama, yaitu Kau Firman. Maafkan bapak Fir,
beban itu begitu berat di alami keluarga bapak terutama Yasmin. Terus terang,
Pondok ini bukan milik bapak Fir, bapak hanya menerima amanah dari ayahnya
Syamsul. Demi memuluskan bisnisnya, ayahnya Syamsul ingin merubah pesantren ini
menjadi salah satu tempat usahanya, dan semua santri diperintahkan untuk
mengosongkan pesantren ini secepatnya. Karena dia beralasan pesantren ini
sangat strategis untuk memuluskan bisnisnya.” Tutur Kiyai Zezen.
“Lalu
kenapa dulu ayahnya Syamsul membangun pesantren ini?” tanyaku memberanikan
diri.
“Itu
karena wasiat dari kakeknya Syamsul. Kekayaan kakeknya Syamsul otomatis akan
jatuh kepada ayahnya Syamsul dan dia berwasiat sebelum meninggal harus
membangun pesantren. Namun, karena sekarang Ayahnya Syamsul seakan gila bisnis,
dia tak peduli pada wasiatnya dulu. Yang dia pikirkan adalah menjadi orang kaya
raya. Begitu sangat ambisius sampai pesantren ini pun harus dirubah menjadi
tempat usahanya.” Tutur kiyai Zezen mencucurkan air mata. Aku hanya terdiam
mendengarkan cerita kiyai Zezen.
“Ada
satu jalan agar pesantren ini tetap bertahan,” kiyai Zezen bercerita.
“Apa
itu Mama`?” tanyaku penasaran. Kiyai Zezen berhenti sejenak dan mengehela
nafas.
“Beberapa
minggu yang lalu, Syamsul datang ke bapak, dia bisa membujuk ayahnya untuk
tidak merubah pesantren ini menjadi tempat bisnis ayahnya, namun dengan Syarat
Yasmin harus menikah dengannya.” Tutur kiyai Zezen sambil tertunduk lemah.
“Terus terang itu membuat dilema di keluarga bapak. Terutama Yasmin sangat
terpukul dengan tawaran ini. Dia langsung jatuh sakit ketika mendengar tawaran
itu dan terus menyebut namamu. Sekarang bapak juga tidak tahu harus bagaimana
mengambil keputusan ini, pesantren akan tetap bertahan tapi harus mengorbankan
anak bapak yang jelas-jelas tidak mencintainya, atau bapak menolak tawaran
Syamsul demi anak bapak tapi pesantren ini akan hanya tinggal kenangan.” Tutur
kiyai Zezen dengan muka yang sangat bingung.
Cerita
Kiyai Zezen seakan petir di siang bolong, aku tak percaya orang yang ku cintai
harus menjadi korban keganasan keluarga Syamsul. Aku tak terima. Tangan
mengepal serasa ingin memukul Syamsul. Kasihan Yasmin, harus menanggung beban
seberat ini. Dia tidak mencintai Syamsul, tapi disisi lain dia juga harus
berkorban demi keutuhan pesantren ini.
Aku
sendiri tak bisa berbuat apa-apa, hanya sebatas mendengarkan curahan hati Mama`
Kiyai Zezen. Ya Allah, apa yang harus aku perbuat? Tanyaku dalam hati.
***
“Ya
Allah yang Maha menggenggam Takdir, apalah daya hamba hanya seorang anak
manusia dengan beban dosa yang sangat berat, namun tak ada lagi tempat untukku
mengadu selain hanya kepada-Mu. Ya Allah, hari ini, orang yang Kau muliakan
sedang kau Uji dengan Ujian yang sangat berat. Guruku tercinta, orang mulia
kekasih Rosulullah, Ya Allah, berilah beliau keistiqomahan beribadah dan
keyakinan dalam menerima semua beban ujian-Mu. Ya Allah, ku pasrahkan cintaku
kepada-Mu, Kau yang mengawali kisah cintaku dan Kau pula yang akan mengakhiri
kisah cintaku ini. Aku mohon akhirilah kisah cintaku dengan sangat indah. Amien.”
Doaku ku panjatkan kepada Sang penggenggam cinta di sepertiga malam untuk
guruku tercinta Kiyai Zezen.
Aku
belum berangkat lagi ke Jakarta. Tiba-tiba Mama` Kiyai Zezen menghubungiku agar
segera datang kesana.
“Alhamdulillahkita
patut bersyukur kepada Allah, kita bisa menghela nafas, Fir.” Senyum Kiyai
Zezen Sumringah.
“Memangnya
kenapa Mama`?” tanyaku bingung.
“Akhirnya
semuanya telah Allah bukakan, ayahnya Syamsul terbukti korupsi dan menjadi
tersangka, perlu kamu tahu, disamping dia pengusaha, Ayahnya Syamsul juga
anggota Dewan. Ternyata KPK telah lama mengincar ayahnya Syamsul. Selain itu,
perusahaannya juga bangkrut karena kalah bersaing dengan perusahaan yang lain.
Dia tidak jadi membangun kawasan usaha di pesantren ini karena perusaahaan yang
di pusat terlanjur bangkrut.Sekarang Syamsul dan ayahnya tak punya apa-apa
lagi.” tutur Kiyai.
“Emm,
mengenai kepemilikan pesantren ini, Mama bagaimana?” tanyaku penasaran.
“Kamu
jangan khawatir,alhamdulillah, kemarin pengajuan permohonan dana kepada Islamic
World Bank untuk pembangunan pesantren akhirnya terkabulkan, nah dana itu
cukup untuk membeli tanah pesantren ini kepada keluarganya Syamsul. Pasti pihak
keluarganya Syamsul akan membutuhkan uang dari hasil penjualan tanah pesantren
ini. Secara otomatis pesantren ini akan tetap berdiri kokoh tanpa takut ada
pengusiran.” Tutur Kiyai Zezen.
“Alhamdulillah,
puji syukur kepada Allah,” jawab Kiyai Zezen Sumringah.
Ku
panjatkan syukur pada Tuhanku yang telah membukakan pintu keluar dari semua
permasalahan ini. Ini adalah hadiah dari kegigihan kiyai Zezen bertahan dari
ujian yang Allah berikan. Yasmin, kini mulai membaik, kesehatannya mulai pulih kembali.
Pernikahan kami yang tadinya akan dilaksanakan lima bulan lagi, kini
dipercepat. Permintaan ini keluar dari mulutnya Yasmin. Dia sudah terlalu rindu
ingin bersatu denganku dan tak ingin kehilanganku setelah semua beban berat
yang sangat menimpanya.
Hari
itu pun tiba, Aku dan Yasmin terikat dengan ikatan “Mitsaqon ghalidzha”
yakni ikatan yang sangat kuat.
“Ankahtuka
Wazawwajtuka walidati Nur Fahira Yasmin Bin Zezen Zeanal Abidin Bi Mahri khomsa
asyarota Zahaban, naqdan[2].”
Ucap Kiyai Zezen sembari memegang tanganku.
“Qobiltu
Nikaha Nur Fahira Yasmin Bin Kiyai Zezen Zeanal Abidil Al-Ma`Rif Bi Mahril
Mazkur, naqdan[3].”
Jawabku lantang.
“Sah.” jawab dua saksi.
“Alhamdulillah”
serentak semua hadirin yang menyaksikan peristiwa syakral itu memuji Tuhannya.
Yasmin
begitu sangat bahagia. Sebelum ijab Qobul terucap, aku dan Yasmin belum
dipertemukan, sampai pada Akhirnya Yasmin pun keluar dengan menggunakan gaun
pengantin putih. Semua yang melihatnya begitu terpana. Apalagi diriku yang begitu
terpana oleh kecantikannya. Hari itu, Yasmin begitu cantik menggunakan gaun
itu. Yasmin kini duduk di sampingku. Yasmin Kaulah bidadariku, sekalipun
bidadari turun dari syurga, maka aku akan memilihmu karena mereka tak akan bisa
mengalahkan kecantikan dan akhlakmu. Aku mencintaimu bidadariku. Sahutku
dalam hati. Lalu kucium keningnya tanda cintaku kepadanya.
Aku
dan Yasmin duduk di pelaminan, semua tamu undangan menyelami kami berdua,
terkadang meminta foto bersama. Hari itu kami begitu bahagia menjadi raja dan ratu
dalam sehari. Akhirnya rombongan guru-guru SMA Islam Tepadu al-Ishlah datang
memenuhi undanganku. Sejurus aku melihat Azalia termurung. Hatinya mungkin
teriris melihat pernikahanku. Mereka datang mengahampiri kami berdua. Di awali
oleh Bu yuyun yang selalu menasehatiku. Kemudian pak Mustofa yang selalu
mengajakku main catur memberikan selamat padaku, selanjutnya beriringan
guru-guru yang lain, dan akhirnya Azalia ada di barisan paling belakang. Aku
melihat wajahnya. Kami saling memandang. Dia mengeluarkan senyum yang
pura-pura. Dia berusaha tersenyum dalam sakitnya. Kamipun bersalaman. Kami
saling menelungkupkan kedua tangan kami.
“Barokallah,
ya” sahut Azalia dengan tangan tertelungkup dan senyum yang membohongi
perasaan.
“amien.”
Jawabku singkat.
Akhirnya
Azalia memeluk istriku Yasmin, dia menangis dalam pelukan Yasmin. Air matanya
meleleh membasahi pipinya. Azalia begitu erat memeluk Yasmin, dan sempat
mengucapkan beberapa patah kata.
“Aku
titip Firman, Jangan Kau kecewakan dia, khidmatlah untuknya sampai
akhirat kelak.” sahutnya sambil mencucurkan air mata.
Azalia
pun akhirnya meninggalkan kami berdua dan bergabung dengan guru-guru SMA IT
al-Islah. Maafakn aku Azalia, aku telah memilih hatiku untuk orang yang
Kucintai. Semoga dirimu diberikan pasangan yang terbaik untukmu. Lirihku
dalam hati.
Selesai,
14 januari – 18 januari 2014 pukul
13.54 WIB di Negeri Kapuk.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar