Senin, 05 Mei 2014

Ketika Aku Pasrah Menikmati Ujian-Mu II


Ketika Aku Pasrah menikmati Ujian-Mu II
Oleh : Alfi Elfath

                SMA Islam terpadu Al-Ishlah adalah tempat Pengabdianku selanjutnya. Alhamdulillah aku sekarang bekerja disini sebagai guru PAI. Hari-hariku sungguh menyenangkan. Ya, karena ada seorang yang setia menemani lelahku. Meski kami berjauhan, aku di Jakarta dan Yasmin di Garut, tapi kami tetap berkomunikasi untuk menjaga ritme rasa cinta kami. Hanya dua hal yang kami lakukan. Pertama, saling mempercayai. Ini modal utama kami berdua membangun cinta. Kayakinan adalah suatu kekuatan dalam membangun cinta. Kedua, komunikasi. Tidak hanya sebatas percaya, tetapi menjaga komunikasi juga sangat penting dalam rangka menjaga ritme rasa cinta agar selalu istiqomah.
                Sebentar lagi aku masuk di kelas XII, aku masih terdiam dalam meja kerjaku membaca kembali materi yang akan ku sampaikan pada para siswa. Tak ketinggalan RPP sudah terbujur rapi di atas meja yang telah ditandatangani oleh bapak kepala sekolah. Bel berganti, giliranku untuk masuk kelas. Buku materi, daftar Absen dan daftar nilai telah berada dalam pelukanku. Tak lupa spidol dan ballpoint “nyantel” di saku kiriku. Bismillahirrahmanirrahim. Aku melangkahkan kakiku masuk kelas.
45 menit kemudian, ada suara bel.
                “Kriiiiing, kriiiiiing,”Tanda bel istirahat begitu nyaring di telinga civitas Akademika SMA Islam Terpadu Al-Ishlah.
                Aku keluar kelas, berjalan menuruni tangga untuk menuju kantor. Di kantor sudah ramai dengan kicauan guru-guru. Mengobrol kesana kemari. Ada juga yang setia menyeduh kopi hitam. Ada juga yang sibuk mengerjakan pekerjaannya di meja kerjanya.
Assalamu alaikum, rekan guru semuanya mohon maaf mengganggu istirahatnya, saya perkenalkan guru baru, menggantikan bu Heni yang pindah dari sekolah ini. Namanya Ibu Azalia Elfathia Zahra. Baru lulus dari UIN Jakarta. Dia akan mengajar mata pelajaran Biologi.” Bapak kepsek memperkenalkan.
Aku kaget, jantungku kembali bergetar. Jiwaku kembali takut, takut cintaku teriris lagi. Tanpa dikenalkan pun aku sudah tau dirinya. Ya, sudah tau, dia lah yang telah melabuhkan cintaku. Menghidupkan kembali cintaku. Namun keluarganya lah yang telah membunuh cintaku. Menguburkan harapanku kepadanya.
“Silahkan bu Azalia, pangilannya apa?” tanya pak Kepsek.
“Lia, Pak,” jawabnya lembut.
“Silahkan bu Lia, duduk di meja dekat Pak Firman. Meja itu dulu dipakai oleh bu Heni.” Pak Kepsek mempersilhakan.
Azalia segera duduk di samping mejaku. Dia menghampiriku yang sedang duduk di meja kerjaku. Kami bertemu kembali dan saling melempar senyum.
“Wah, ada guru baru, lebih muda lebih semangat.” Tanggap Pak Mustofa.
“He, he, he, sudah, sudah, Pak Mustofa kan sudah punya.” Timpal Bu Yuyun.
“Ha, ha, ha, bercanda Bu, tinggal satu lagi guru yang belum nikah di sekolah ini. Yah, Pak Firman.” Jawab Pak Mustofa memberi isyarat padaku dengan mengerdipkan matanya.
Semua guru tahu satu-satunya guru yang belum menikah di sekolah ini adalah diriku. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya aku sudah punya seseorang yang kucintai. Selama ini aku menyembunyikannya dari mereka. Enam bulan lagi aku akan menikah dengan kekasihku.
“Iyah, pak Firman sama Bu Lia kita jodohkan saja, he, he,” tanggap Bu yuyun.
Aku hanya tersenyum. Tak ada tanggapan satu kata pun dariku.
Begitulah guru-guru di SMA Islam Terpadu Al-Ishlah, bercandanya kadang keterlaluan, tapi itu menjadi bumbu tersendiri untuk menghilangkan kejenuhan ketika mengajar.
“Apa kabar Bu Lia?” tanyaku sambil berpura-pura membaca buku.
“Alhamdulillah sehat pak. Apa kabarnya Pak Firman?” tanya Azalia.
“Alhamdulillah sehat,” jawabku dingin.
Setelah percakapan itu, kami saling diam. Aku masih sakit hati terhadap keluarganya. Walaupun Azalia tak bersalah. Namun tetap saja sedikit kesal terhadapnya. Ya, kesal tidak memperjuangkan cintanya untuk melawan keegoisan ayahnya.
                “Kriiiing, kriiiing,” tanda bel masuk.
                sebagian guru-guru mempersiapkan diri mereka untuk masuk kelas. Sebagian yang lain masih rajin di meja kerja masing-masing, termasuk aku yang masih terdiam di mejaku.
                “Pak Firman, maafkan atas kesalahanku.” Sahut Azalia mengejutkan diamku.
                “Maaf untuk apa?” tanyaku.
                “Maafkan aku atas keputusan ayahku. Mungkin itu sangat menyakitimu.”
                “Sudahlah, aku sudah tidak memikirkannya lagi. Oh ya, kenapa kamu bisa disini, bukannya kamu mau study lagi ke Mesir?”
                “Itu hanya alasan ayah saja untuk menolakmu. Ayah berteman dekat dengan pak Kepsek SMA IT ini. Beberapa minggu yang lalu, beliau berkunjung ke rumah dan sedang mencari guru pengganti. Akhirnya ayah dan pak kepsek itu sepakat memilihku untuk bekerja di tempat ini. Sungguh bukanlah kebetulan, Allah mempertemukan kita disini.” Penjelasan Azalia mendiamkanku.
                Aku masih sakit atas perlakuan ayahmu, Lia, marahku dalam Hati.
                Aktivitasku berjalan seperti biasa. Pagi-pagi berangkat sekolah, sore hari kembali lagi ke kosanku sampai pada akhirnya ada yang mengganggu perasaanku. Tak jarang bapak kepala sekolah menjadikanku dengan Azalia satu Tim dalam setiap kepanitiaan. Gara-gara hal itu, aku dekat kembali dengannya. Aku berusaha dingin padanya. Akan ku jawab seperlunya jika dia memerlukan bantuanku. Perlahan seiring bergulirnya waktu, kebaikan Azalia membuatku luluh, perhatiannya mampu meruntuhkan kebencianku padanya.
                Kebaikan yang selalu dilakukannnya kadang merapihkan mejaku yang berantakan ketika aku tidak ada. Suatu ketika, aku pulang terburu-buru karena ada keperluan mendadak. Aku tak sempat merapihkan majaku yang dipenuhi beberapa buku yang acak-acakan. Keesokan harinya aku melihat majaku rapih dan bersih. Siapa yang merapihkan mejaku? Tanyaku dalam hati. Kejadian itu tak hanya sekali. Kalau aku tak sempat merapihkan meja kerjaku, pasti keesokan harinya sudah rapih kembali. Aku berfikir untuk menebak kira-kira siapa yang merapihkan mejaku.
Siapa ya? Guru-guru disini terlalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri, mana mungkin sempat merapihkan mejaku. Apa mugkin Azalia? Aku bergumam dalam hati. Ah lebih baik aku tanyakan saja kepada guru yang terakhir pulang. Biasanya bu Yuyun selalu pulang paling akhir.
Dari berita yang disampaikan Bu Yuyun kini ku tahu siapa yang selalu merapihkan mejaku. Ternyata sangkaanku benar, Azalia lah yang selalu merapihkan meja kerjaku. Di lain kesempatan,dia selalu membawakan sarapan pagi. Dia tahu kalau diriku kadang tak sempat sarapan pagi.
“Belum sarapan pagi kan?” tanya Azalia disamping meja kerjaku. “Ini saya bawakan nasi hangat dengan tumis kangkung.” Sahutnya sambil menyodorkan makanan kepadaku.
Aku bingung harus bagaimana, rasanya tidak enak kalau menolak permintaan orang lain. Akhirnya ku terima tawaran dari Azalia. Setiap hari dia selalu membawakan sarapan pagi untukku. Aku merasa tidak enak padanya dan sungguh sebenarnya aku sudah luluh dengan kebaikan yang diberikannya. Aku merasa harus minta maaf atas sikap dinginku ini. Akhirnya aku meminta maaf padanya.
“Bu Lia, saya mohon maaf atas sikap saya selama ini kepada ibu, mungkin ibu kesal melihat ini semua.” Sahutku sambil duduk di kursi kerjaku di temani dengan Azalia yang juga duduk di kursi kerjanya.
“Iya, pak tidak apa-apa, saya sudah maklum dan terima, bapak mungin seperti ini masih benci dan kesal kepada saya dan keluarga saya.” Jawab Azalia dengan menunduk.
“Terus terang bu, saya memang masih memendam rasa benci di hati ini. Tapi sikap seperti ini tidak baik, saya berusaha menerima takdir ini. Kini dirimu sudah milik orang lain.” Jawabku dengan merasa bersalah.
“Iya pak tidak apa-apa.”
“Bagaimana dengan kang Syamsul, apa dia baik-baik saja?” Tanyaku menanyakan calon suaminya. Tiba-tiba wajah cantiknya berubah menjadi muram. Terlihat matanya berkaca-kaca.
“Maaf, Pak, saya mau ke kamar mandi dulu.” Jawab Azalia sambil berlalu menuju kamar mandi.
Apakah aku salah menanyakan pertanyaan itu. Aku merasa tak enak hati telah menanyakan suatu hal peribadi kepadanya.Maafkan aku Azalia.
                Seiring berjalannya waktu, aku dan Azalia berteman seperti biasa, manjadi partner kerja yang saling mendukung. Tidak ada rasa dingin dari sikapku. Ku anggap dia sebagai partner dan temanku tidak lebih dari itu. Sama seperti sebeum-sebelumnya Azalia membawakanku sarapan pagi. Dia tahu kalau aku jarang sarapan pagi. Dia selalu merapihkan meja kerjaku. Terkadang dia memperhatikan baju dan semua yang ada pada diriku.
                “Pak, cukur dong rambutnya udah panjang.” Lia menasehati sambil bercanda.
                “He, he, iya bu, nanti besok saya cukur.” Jawabku sengan tawa malu.
                “Itu juga, baju kurang rapih setrikaannya.”
                “He, he, he,” jawabku dengan malu.
                Perhatiannya membuatku tergoda, perasaanku mulai berubah. Tadinya ku anggap dia teman. Namun perhatiannya meluluhkan hatiku. Aku tak mendapat perhatian nyata seperti ini dari Yasmin. Apalagi kami terpaut jauh, hanya perhatian SMS yang ku dapat dari Yasmin. Hasratku mulai mencintainya lagi. Namun, hatiku berusaha menolaknya. Yang ada dalam hatiku hanya satu, Aziza Nurfahira Yasmin. Itulah nama yang telah terpatri dalam hatiku. Cinta pertamaku. Aku berusaha menampik rasa ini terhadap Azalia. Dia sudah menjadi milik orang lain. Sudah manjadi milik Syamsul, kakak kelas ku dulu di SMA dan di pondok. Aku berusaha mengistiqomahkan[1] cintaku pada Yasmin. Dialah yang akan menjadi pendamping hidupku selamanya sampai akhirat kelak. Aku berusaha menepikan kekaguman ini pada Azalia. Suatu hari nanti perhatian Yasmin akan lebih dari ini. Hanya sedikit bersabar untuk kami berdua menuju pernikahan.
                Sudah beberapa minggu ini aku tak dapat kabar dari Yasmin. Aku berusahamengirim SMS, tapi selalu Pending, aku berusaha menghubunginya namun tidak aktif. Aku mulai khawatir terhadapnya. Apa yang tejadi dengan Yasmin? Aku berusaha menghubungi pondok pesantren Al-Falah tempat tinggal Yasmin, mereka hanya menjawab Yasmin baik-baik saja. Namun, hatiku punya firasat yang berbeda. Aku tak bisa pulang ke Garut karena kesibukanku sebagai guru yangtidak bisa ku tinggalkan. Hanya berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk kesahatan Yasmin.
                Di sisi lain perhatian Azalia membuatku menggoda keistiqomahanku. Dia selalu berusaha memberikan perhatian kepadaku. Dia seakan menjadi pelengkap dari kekuranganku. Aku berusaha istiqomah akan cintaku. Pada Akhirnya ku berinkan diri untuk bertanya sesuatu tentang perhatiannya kepadaku. Seperti biasa aku dan dirinya duduk di bangku masing-masing di ruang kantor.
                “Bu, boleh saya bertanya sesuatu?”
                “iya, silahkan.” Jawabnya sedang menuliskan sesuatu yang aku tak tahu apa itu.
“Bu, kenapa ibu begitu perhatian kepada Saya?” tanyaku.
Dia tiba-tiba berhenti menulis. Dia menghela nafas. Air matanya berkaca-kaca.
“Mohon maaf, pak. Tolong jangan tanyakan itu kepada Saya, maaf pak, saya sedang sibuk.” Jawabnya dengan mata berkaca-kaca dan melanjutkan untuk menulis.
Aku marasa bersalah telah menanyakan hal itu kepadanya.
“Maafkan saya bu.” Jawabku untuk kedua kalinya merasa bersalah.
***
                Selesai shalat isya dan mandi, akhirnya ku buka emailku, ternyata ada email masuk.
“Assalamu alaikum, mohon maaf mengganggu, mohon maaf selama ini pertanyaanmu tak langsung aku jawab. Biarlah lewat Email ini ku jawab semua pertanyaanmu. Aku tak mau kau melihatku bersedih. Kang Firman yang dimuliakan Allah, sejujurnya aku tak mencintai Syamsul. Hatiku tak mampu menyimpan cintanya kepadaku. Perlu kamu tahu, Kang Syamsul adalah kakak kelasku di UIN Jakarta. Semenjak kuliah dulu,dia selalu mengejar cintaku, namun beberapa kali aku tolak. Dia berusaha datang kepada orangtuaku. Namun aku berusaha melarangnya sampai pada akhirnya ketika aku menemukan cintaku kepadamu dia memaksakan datang ke rumah tanpa sepengetahuanku. Aku terkaget akan kedatangannya. Apa yang aku takutkan terjadi, dia berniat melamarku dan mengambil hati ayahku dengan kemewahannya. Bukan aku berniat membuka aib seseorang, tapi hanya memberi alasan tentang penolakanku padanya. Di kampus dulu, Syamsul terkenal dengan “playboy” nya, sudah banyak perempuan yang menjadi korban. Dengan kekayaannya dia begitu gampang merayu semua perempuan di Kampus. Banyak sahabatku yang luluh dengan kegantengan dan kekayaannya. Aku tak mau tertipu seperti kebanyakan perempuan lain. Sekarang kang Syamsul jarang menghubungiku. SMS pun jarang. Aku dengar dari temannya kalau Syamsul sekarang sedang mendekati orang yang dicintainya dulu di pondoknya. Katanya anak Kiyai pimpinan di pondoknya dulu. Mungkin wanita itu lebih cantik dariku sehingga dia mendekatinya. Syamsul benar-benar jahat, dia mempermainkan keluargaku. Aku tak mencintainya. Yang ku cintai hanyalah engkau, Firman. Ternyata Allah mempertemukan kita kembali dalam satu pekerjaan. Apa yang ku lakukan hari ini, perhatianku padamu hanyalah sebagai kewajibanku padamu, aku ingin berkhidmat kepadamu, aku ingin mengabdikan diriku padamu sampai kau menemukan jodohmu. Aku ingin berkhidmat padamu karena kau adalah guruku. Guru yang telah mengajariku tentang arti cinta yang sesungguhnya. Aku mencintaimu, Firman.Maafkan aku Firman, karena aku telah lancang, tapi harus kemana kah hati ini berlabuh.
Yang lemah,
Azalia Elfathia Zahra
                Itulah Email masuk dari Azalia yang membuatku mencucurkan air mata. Aku kasihan kepadanya. Dia menjadi korban keganasan Syamsul. Selain mencucurkan air mataku, aku juga terkaget, dia ingin Mendekati Yasmin kembali.
                Syamsul terlahir dari orang yang kaya. Yang aku tahu, Ayahnya adalah Donatur tetap Pondok Pesantren Al-Falah. Pondok pesantren Al-Falah menjadi megah dan terkenal berkat jasa Ayahnya Syamsul. Semasa di pondok dulu, aku dan Syamsul satu kamar. Dia sempat cerita tentang perasaannya kepada Yasmin. Bahkan sempat mengungkapkan perasaannya pada Yasmin. Namun di tolak oleh Yasmin karena Yasmin Tak mencintainya.
                Ternyata kini Syamsul masih mengejar cinta Yasmin. Aku marah padanya. Aku tak rela kalau orang yang ku cintai direbut oleh orang lain. Aku yakin, disana Yasmin juga akan mempertahankan cintanya padaku. Tak akan mudah terbuai rayuan Syamsul. Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku tak bisa menghubunginya. Handphonenya tak pernah lagi aktif beberapa minggu ke belakang. Apa yang terjadi?Itu pertanyaan yang membuatku cemas dan takut. Takut jika Yasmin terjatuh ke dalam buaian Syamsul.
                Akhirnya ku putuskan untuk meminta Izin kepada kepala sekolah untuk tidak masuk selama seminggu kedepan. Ada keperluan keluarga yang tak bisa ku tinggalkan. Aku berangkat ke Garut untuk menemui kekasihku Yasmin. Tiba di Garut dengan keadaan capek dan lelah, ku beranikan diri untuk bertemu dengan Mama` Kiyai Zezen. Kiyai Zezen duduk bersandar di kursinya. Aku pun duduk tertunduk di hadapannya. Sepertinya beliau ingin mengungkapkan sesuatu.
                “Firman anakku, maafkan bapak, ada beberapa hal yang ingin bapak sampaikan, sudah beberapa minggu ini Yasmin sakit, ada beban pikiran yang sangat mengganggunya. Dalam tidurnya dia selalu memanggil satu nama, yaitu Kau Firman. Maafkan bapak Fir, beban itu begitu berat di alami keluarga bapak terutama Yasmin. Terus terang, Pondok ini bukan milik bapak Fir, bapak hanya menerima amanah dari ayahnya Syamsul. Demi memuluskan bisnisnya, ayahnya Syamsul ingin merubah pesantren ini menjadi salah satu tempat usahanya, dan semua santri diperintahkan untuk mengosongkan pesantren ini secepatnya. Karena dia beralasan pesantren ini sangat strategis untuk memuluskan bisnisnya.” Tutur Kiyai Zezen.
                “Lalu kenapa dulu ayahnya Syamsul membangun pesantren ini?” tanyaku memberanikan diri.
                “Itu karena wasiat dari kakeknya Syamsul. Kekayaan kakeknya Syamsul otomatis akan jatuh kepada ayahnya Syamsul dan dia berwasiat sebelum meninggal harus membangun pesantren. Namun, karena sekarang Ayahnya Syamsul seakan gila bisnis, dia tak peduli pada wasiatnya dulu. Yang dia pikirkan adalah menjadi orang kaya raya. Begitu sangat ambisius sampai pesantren ini pun harus dirubah menjadi tempat usahanya.” Tutur kiyai Zezen mencucurkan air mata. Aku hanya terdiam mendengarkan cerita kiyai Zezen.
                “Ada satu jalan agar pesantren ini tetap bertahan,” kiyai Zezen bercerita.
                “Apa itu Mama`?” tanyaku penasaran. Kiyai Zezen berhenti sejenak dan mengehela nafas.
                “Beberapa minggu yang lalu, Syamsul datang ke bapak, dia bisa membujuk ayahnya untuk tidak merubah pesantren ini menjadi tempat bisnis ayahnya, namun dengan Syarat Yasmin harus menikah dengannya.” Tutur kiyai Zezen sambil tertunduk lemah. “Terus terang itu membuat dilema di keluarga bapak. Terutama Yasmin sangat terpukul dengan tawaran ini. Dia langsung jatuh sakit ketika mendengar tawaran itu dan terus menyebut namamu. Sekarang bapak juga tidak tahu harus bagaimana mengambil keputusan ini, pesantren akan tetap bertahan tapi harus mengorbankan anak bapak yang jelas-jelas tidak mencintainya, atau bapak menolak tawaran Syamsul demi anak bapak tapi pesantren ini akan hanya tinggal kenangan.” Tutur kiyai Zezen dengan muka yang sangat bingung.
                Cerita Kiyai Zezen seakan petir di siang bolong, aku tak percaya orang yang ku cintai harus menjadi korban keganasan keluarga Syamsul. Aku tak terima. Tangan mengepal serasa ingin memukul Syamsul. Kasihan Yasmin, harus menanggung beban seberat ini. Dia tidak mencintai Syamsul, tapi disisi lain dia juga harus berkorban demi keutuhan pesantren ini. 
                Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa, hanya sebatas mendengarkan curahan hati Mama` Kiyai Zezen. Ya Allah, apa yang harus aku perbuat? Tanyaku dalam hati.
***
                Ya Allah yang Maha menggenggam Takdir, apalah daya hamba hanya seorang anak manusia dengan beban dosa yang sangat berat, namun tak ada lagi tempat untukku mengadu selain hanya kepada-Mu. Ya Allah, hari ini, orang yang Kau muliakan sedang kau Uji dengan Ujian yang sangat berat. Guruku tercinta, orang mulia kekasih Rosulullah, Ya Allah, berilah beliau keistiqomahan beribadah dan keyakinan dalam menerima semua beban ujian-Mu. Ya Allah, ku pasrahkan cintaku kepada-Mu, Kau yang mengawali kisah cintaku dan Kau pula yang akan mengakhiri kisah cintaku ini. Aku mohon akhirilah kisah cintaku dengan sangat indah. Amien.” Doaku ku panjatkan kepada Sang penggenggam cinta di sepertiga malam untuk guruku tercinta Kiyai Zezen. 
                Aku belum berangkat lagi ke Jakarta. Tiba-tiba Mama` Kiyai Zezen menghubungiku agar segera datang kesana.
                “Alhamdulillahkita patut bersyukur kepada Allah, kita bisa menghela nafas, Fir.” Senyum Kiyai Zezen Sumringah.
                “Memangnya kenapa Mama`?” tanyaku bingung.
                “Akhirnya semuanya telah Allah bukakan, ayahnya Syamsul terbukti korupsi dan menjadi tersangka, perlu kamu tahu, disamping dia pengusaha, Ayahnya Syamsul juga anggota Dewan. Ternyata KPK telah lama mengincar ayahnya Syamsul. Selain itu, perusahaannya juga bangkrut karena kalah bersaing dengan perusahaan yang lain. Dia tidak jadi membangun kawasan usaha di pesantren ini karena perusaahaan yang di pusat terlanjur bangkrut.Sekarang Syamsul dan ayahnya tak punya apa-apa lagi.” tutur Kiyai.
                “Emm, mengenai kepemilikan pesantren ini, Mama bagaimana?” tanyaku penasaran.
                “Kamu jangan khawatir,alhamdulillah, kemarin pengajuan permohonan dana kepada Islamic World Bank untuk pembangunan pesantren akhirnya terkabulkan, nah dana itu cukup untuk membeli tanah pesantren ini kepada keluarganya Syamsul. Pasti pihak keluarganya Syamsul akan membutuhkan uang dari hasil penjualan tanah pesantren ini. Secara otomatis pesantren ini akan tetap berdiri kokoh tanpa takut ada pengusiran.” Tutur Kiyai Zezen.
                “Dan tentunya kepemilikan tanah pesantren ini berada di tempat yang tepat.” Timbalku menambahkan.
                “Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah,” jawab Kiyai Zezen Sumringah.
                Ku panjatkan syukur pada Tuhanku yang telah membukakan pintu keluar dari semua permasalahan ini. Ini adalah hadiah dari kegigihan kiyai Zezen bertahan dari ujian yang Allah berikan. Yasmin, kini mulai membaik, kesehatannya mulai pulih kembali. Pernikahan kami yang tadinya akan dilaksanakan lima bulan lagi, kini dipercepat. Permintaan ini keluar dari mulutnya Yasmin. Dia sudah terlalu rindu ingin bersatu denganku dan tak ingin kehilanganku setelah semua beban berat yang sangat menimpanya.
                Hari itu pun tiba, Aku dan Yasmin terikat dengan ikatan “Mitsaqon ghalidzha” yakni ikatan yang sangat kuat.
                Ankahtuka Wazawwajtuka walidati Nur Fahira Yasmin Bin Zezen Zeanal Abidin Bi Mahri khomsa asyarota Zahaban, naqdan[2].” Ucap Kiyai Zezen sembari memegang tanganku.
                Qobiltu Nikaha Nur Fahira Yasmin Bin Kiyai Zezen Zeanal Abidil Al-Ma`Rif Bi Mahril Mazkur, naqdan[3].” Jawabku lantang.
                “Sah.” jawab dua saksi.
                Alhamdulillah” serentak semua hadirin yang menyaksikan peristiwa syakral itu memuji Tuhannya.
                Yasmin begitu sangat bahagia. Sebelum ijab Qobul terucap, aku dan Yasmin belum dipertemukan, sampai pada Akhirnya Yasmin pun keluar dengan menggunakan gaun pengantin putih. Semua yang melihatnya begitu terpana. Apalagi diriku yang begitu terpana oleh kecantikannya. Hari itu, Yasmin begitu cantik menggunakan gaun itu. Yasmin kini duduk di sampingku. Yasmin Kaulah bidadariku, sekalipun bidadari turun dari syurga, maka aku akan memilihmu karena mereka tak akan bisa mengalahkan kecantikan dan akhlakmu. Aku mencintaimu bidadariku. Sahutku dalam hati. Lalu kucium keningnya tanda cintaku kepadanya.
                Aku dan Yasmin duduk di pelaminan, semua tamu undangan menyelami kami berdua, terkadang meminta foto bersama. Hari itu kami begitu bahagia menjadi raja dan ratu dalam sehari. Akhirnya rombongan guru-guru SMA Islam Tepadu al-Ishlah datang memenuhi undanganku. Sejurus aku melihat Azalia termurung. Hatinya mungkin teriris melihat pernikahanku. Mereka datang mengahampiri kami berdua. Di awali oleh Bu yuyun yang selalu menasehatiku. Kemudian pak Mustofa yang selalu mengajakku main catur memberikan selamat padaku, selanjutnya beriringan guru-guru yang lain, dan akhirnya Azalia ada di barisan paling belakang. Aku melihat wajahnya. Kami saling memandang. Dia mengeluarkan senyum yang pura-pura. Dia berusaha tersenyum dalam sakitnya. Kamipun bersalaman. Kami saling menelungkupkan kedua tangan kami.
                Barokallah, ya” sahut Azalia dengan tangan tertelungkup dan senyum yang membohongi perasaan.
                “amien.” Jawabku singkat.
                Akhirnya Azalia memeluk istriku Yasmin, dia menangis dalam pelukan Yasmin. Air matanya meleleh membasahi pipinya. Azalia begitu erat memeluk Yasmin, dan sempat mengucapkan beberapa patah kata.
                “Aku titip Firman, Jangan Kau kecewakan dia, khidmatlah untuknya sampai akhirat kelak.” sahutnya sambil mencucurkan air mata.
                Azalia pun akhirnya meninggalkan kami berdua dan bergabung dengan guru-guru SMA IT al-Islah. Maafakn aku Azalia, aku telah memilih hatiku untuk orang yang Kucintai. Semoga dirimu diberikan pasangan yang terbaik untukmu. Lirihku dalam hati.

Selesai,
14 januari – 18 januari 2014 pukul 13.54 WIB di Negeri Kapuk.



[1] meneguhkan
[2]Aku nikahkan dan kawinkan engaku dengan putriku Aziza Nurfahira Yasmin bin Zezen Zaenal Abidin dengan Maskawin 15 gram emas tunai.
[3]Saya terima nikah dan kawinnya putri bapak Nur Fahira Yasmin bin Zezen Zaenal Abidin dengan maskawin tersebut tunai.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar