Hadiah Umroh Dari
Sang Mertua
By : Fitrotul Mr
Sang
fajar sudah menampakkan dirinya, suara kokok ayam sudah saling bersahutan,
waktu baru menunjukkan
pukul setengah empat pagi. suara tarhiman dari masjid terdengar sangat nyaring.
Mata yang biasanya masih terlelap sekarang sudah bersinar terang. Hati ini
sudah tidak sabar menunggu pagi. Pasalnya hari ini Ayah dan Bunda pulang dari
tanah suci, berbagai persiapan kulakukan, dari mulai membersihkan rumah sampai
memasakkan makanan kesukaan Ayah dan Bunda. Semua ini dilakukan atas rasa
syukur dan bahagia.
Setelah
sampai dirumah cerita
demi cerita pun terlontar dari bibir Ayah dan Bunda, dari mulai saat melihat
ka’bah, dan dimana setiap orang melihatnya pasti akan berlinangan air mata, hingga
cerita kejadian-kejadian lucu tentang orang-orang berkulit gelap.
Aku
lihat foto dan video Ayah waktu di Mekah, bangunan Ka’bahnya sangat indah
pohon-pohon kurma yang berjajar rapih terlihat sedap dipandang mata. ada juga video bunda waktu di masjidil
harom. Aku sangat takjub ketika melihat payung raksasa otomatis, yang menjadi baground video ibu. Payung itu akan
membuka jika cuacanya panas.
“Ini
masjid qisos.” kata Ayah waktu aku tanya foto itu diambil dimana.
“Masjid
qisos? Trus Ayah waktu disitu ada yang di qisos tidak?” tanyaku penasaran
“Tidak
ada.” jawab Ayah.
Ya
Allah, sungguh indah nian
tempat-Mu. Setelah melihat foto-foto
dan video yang ayah kasih, entahlah hatiku berdegup kencang, ada uvoria yang
kian menyelip dalam sanubariku. Ya Robb, Izinkan suatu
hari aku bisa memenuhi panggilan-Mu. Sungguh
aku amat sangat rindu, rindu
ingin berkunjung ke rumah-Mu, rindu berziarah kemakam kekasih-Mu.
Aku
bingung, harus dengan cara apa mewujudkan impianku ini? Sedang aku belum bisa
mencari uang sendiri. Kuliah pun masih dibiayai orang tua. Jalan satu-satunya
adalah meminta sama Allah. Rajin berdo’a dan menyenangkan hati sesama muslim. Aku
ingat Allah pernah berfirman dalam sebuah hadist qudsi, : ud’unii astajib lakum (memintalah kepada-Ku
maka AKU akan mengabulkannya).
satu
bulan sudah Ayah dan Bunda kembali ketanah air. Cerita tentang bahagianya di
Tanah suci terkadang masih terlontar dari bibir mereka, hingga suatu hari Ayah
mengutarakan keinginannya ingin berhaji lagi.
“Nok,
Ayah mau daftar haji lagi, sama kamu atau sama Haikal?” kata Ayah suatu malam.
“Ya
sama Aku Yah, masa sama Haikal, kan aku kakaknya?” jawabku tak mau mengalah.
“
Begini loh Nok,
masa tunggu haji sekarang itu 10 tahun, kalau Ayah perginya sama kamu,
kemungkinan kamu sudah menikah, masa suamimu mau kamu tinggal sendirian, naik
haji itu enaknya barengan sama suami.”
“Ya
biarin, yang penting aku bisa naik haji.” Ucapku sambil manyun.
“Ya
sudah begini saja, kalau kamu sudah menikah ajak suamimu daftar haji, kamu yang
biayain Ayah, sedangkan suamimu cari biaya sendiri.” Ayah masih berusaha untuk
menjelaskan.
Dengan
terpaksa aku terima, padahal dalam hati menggerutu, nawarin tapi maksa
keinginan sendiri. Kalau pun Ayah yang membiayaiku, tetap saja Haikal yang
duluan berangkat, beruntung sekali adikku.
Hari-hari
kujalani seperti biasa, namun dalam hati ada perasaan yang selalu mengganjal,
kenapa harus adikku, disinikan aku yang jadi kakaknya.
Aku
mencoba untuk mengikhlaskannya, selalu menggerutu pun tak akan menyelesaikan
masalah. Yang ada hanya membuat penyakit dalam hati.
Mungkin
Allah belum memperkenankanku untuk mengunjungi rumah-Nya. Aku sadar haji itu adalah
panggilan dari Allah. Dan mungkin adikku lebih berkenan Allah undang menjadi
tamuNya. Banyak orang yang
sehat jasmani, pekerjaan mapan akan tetapi ia tidak mau pergi haji. Namun seorang
pemulung yang penghasilannya jauh dibawah standar, mampu pergi haji walaupun ia
harus menabung 10 tahun lamanya. Subhanallah Allah lebih memperkenankan seorang
pemulung yang menjadi tamu-Nya.
Suatu
hari Ayah mau berziarah ke pamijahan, dia mengajakku untuk menemaninya. Kata
Ayah di goa pamijahan ada topi haji, yang menurut orang-orang kalau ukuran
kepalanya pas dengan salah satu topi di situ maka kemungkinan besar ia akan
pergi haji. Aku langsung tertarik untuk ikut.
“Tapi
ingat yang menghajikan itu Allah, bukan topi itu.” Kata Ayah.
“Ya
iya Ayah, aku hanya ikhtiar, mungkin topi itu salah satu perantara yang telah
Allah atur.” Jelasku.
***
Matahari
mulai melenyapkan dirinya, Hembusan angin lembut memasuki pori-pori disetiap tubuhku, hingga
menambah kesejukan sore ini. Orang-orang mulai berdatangan dan satu persatu
memasuki mobil bis, hingga semuanya telah siap dan mobil bis mulai melaju
pelan-pelan meninggalkan desa ini.
Seorang
ustadz mulai memimpin do’a naik kendaran. Sholawat kepada Nabi Muhammad ikut
mengiri laju mobil bis kami, semangat rombongan ziarah masih terlihat
meletup-letup hingga sayup-sayup dan akhirnya
tak terdengar lagi.
Tempat
pertama yang kami ziarahi adalah sunan gunung jati, kemudian Banten dan terahir
gua pamijahan.
Aku
masuk ke dalam Goa bersama rombongan, didalam Goa benar-benar gelap. Hanya
lampu senter dan patromax milik pemandu Goa yang mampu memberikan penerangan. Jalan
yang licin dan genangan air yang lumayan dalam, membuatku susah melangkah
dengan cepat, tetesan air yang keluar dari atas bebatuan membuat kerudungku
basah.
“
Di sini tempat para wali bermusyawah, dan itu mimbar buat khotbah jum’at. Para
wali biasa melaksanakan sholat jum’at di situ.” Kata pemandu
“Dan
air ini adalah air Zam-zam.” Sambungnya sambil menengadahkan tangannya di
tetesan air.
“Nah
kalau mau minum air Zam-zam silahkan disana sudah disediakan, kalau mau ditaruh
dibotol juga boleh. Tetapi semua botol dikumpulkan sama ketua rombongan, nanti
biar ketua rombongan yang bertanggung jawab.” Sambungnya.
Sayangnya
aku tidak bawa botol mineral, jadi terpaksa hanya minum disitu. Sebenarnya
disitu juga menjual air Zam-zam. Satu botol besar seharga 2500 tapi uangku ada
didalam tas, untuk mengambilnya pun sangat susah, karena selain jalannya becek
banyak orang yang mengantri ingin meminumnya.
Setelah
lumayan lama aku dan rombongan menyusuri Goa, tiba disebuah lorong gua yang didalamnya
terdapat sebelas topi haji. Jika diantara topi-topi itu ada yang pas dikepala,
kemungkinan besar bisa menunaikan ibadah haji. Tetapi aku tidak tahu itu mitos
atau bukan, semua itu dikembalikan pada diri sendiri. Haji itu berdasarkan
panggilan Allah, yang menurut Allah pantas
untuk menjadi tamu-Nya.
Ahirnya
aku bisa masuk juga, walaupun keadaan berdesak-desakkan, karena bukan hanya
rombonganku saja yang berada di goa itu, banyak rombongan yang berebut masuk,
bahkan rombongan yang sudah masuk pun kesulitan untuk keluar dari lorong itu.
Setelah
berada didalam lorong itu,
Aku
mencoba semua topi yang ukurannya
berfariasi, ada yang besar yang sedang dan ada juga yang kecil.
“ya
Allah, pergi kerumah-Mu adalah impianku, sekiranya mencoba topi ini adalah
sebuah perantara untuk bertamu
kerumah-Mu, maka izinkanlah aku untuk bertamu dan menziarahi makam kekasih-Mu, Allahumma ballighnaa makkata wal madinah li
ziaroti haromika wa haromi habibika sayyidina Muhammadin sollallahu ‘alaihi
wasallam, yusron wala ‘usron ma’ar rouhati wassalamat birohmatika yaa
arhamarrohimin.” Do’aku dalam hati agar dimudahkan perjalanan untuk sampai
ke Mekkah sana.
“Pak
haji?” ucap salah seorang lelaki yang seumuran Ayah. Sambil menepuk punggung Ayah
saat ingin keluar goa.
“Eeehhh
Pak Soleh, ziarah
juga Pak?” jawab Ayah ketika
berada dipintu keluar
“Anaknya
udah besar dan cantik ya Pak?”
ucap dia sambil menoleh ke arahku
Aku
hanya tersenyum malu-malu dan menjabat tangannya, pak Saleh malah membisiki
Ayah, aku tak tahu apa yang pak Saleh bisikkan, yang kulihat Ayah hanya
manggut-manggut.
***
“Nok,
tolong buatin minum buat tamu Ayah!” kata ibu menghampiriku yang sedang membaca
buku.
“Berapa
Bu?”
“Tiga.”
Aku mengantarkan teh ke ruang tamu.
“Silahkan
diminum.” Ucapku sambil mengulas senyum.
“Ma,
ini rizky loh yang waktu kecil sering ngledekin kamu dan buat kamu nangis.”
Kata Ayah.
“Kak
Rizky?” Refleks kepalaku terangkat
“Ooh, jadi kamu Rahma yang
dulunya cengeng ya?” Rizky menunjukku sambil terkekeh-kekeh.
“tambah
cantik.” Sambungnya.
Dia
hanya membalas dengan senyum, wuiisss hatiku deg-deg ser tidak karuan, mana
tambah cakep. Tapi kalau ingat
waktu masih kecil, Ukh
bikin sebel.
Semenjak
pertemuan itu Rizky sering memberikan kabar, ternyata Rizky itu kuliah di Jakarta. Pantas saja
tambah keren.
“Ma,
setelah pertemuan itu tidak tahu kenapa perasaan Kakak selalu yakin kalau Rahma
akan menjadi istri Kakak. Apalagi melihat Rahma berbalut kerudung berwarna
merah, terlihat sangat anggun. kiranya Rahma berkenan Kakak akan
mempersuntingmu sebagai istri.” Pesan singkat dari Kak Rizky.
Subhanallah,
hatiku benar-benar dibuat melayang. Pasalnya Aku juga mencintainya. Semoga
keputusan yang akan ku ambil tepat.
“Kakak,
sungguh Rahma sangat tersanjung dengan tawaran Kakak, akan tetapi Rahma tidak
mau terburu-buru dalam mengambil keputusan, sekiranya kakak berkenan menunggu,
tunggulah jawaban adik 3 hari lagi.” Balasan dariku segera terkirim
Tak
lama berselang handponeku berbunyi lagi, bunyi yang menandakan ada pesan masuk.
Segera ku ambil dan kubaca isinya.
“Iya
Ma, apapun keputusanmu, Kakak akan menerima dengan lapang dada. Kakak siap
menunggu jawabanmu”
Pesan
terahir dari Kak Rizky membuat tenang hatiku. Aku bergegas mengambil air wudhu untuk
melaksanakan sholat isya dan di lanjut
dengan sholat istihoroh,
berharap mampu
temukan Kak Rizky di alam tidurku.
Esoknya
aku segera sms Kak Rizky
“Kak,
hari ini Rahma siap menjawab lamaranmu. Akan tetapi Rahma tidak bisa membalasnya
lewat sms ini. Nanti sore aku tunggu Kakak di rumah.”
***
“Bismillahirrohmanirrohim
semoga keputusan saya ini tidak membuat kecewa semua orang yang ada disini.
Ahirnya saya memutuskan untuk menerima lamaran Kakak.” Jawabku ketika utusan dari
keluarga Kak Rizky menerangkan tujuannya bersilaturrahmi.
Air
mata pun mulai membasahi pipi, tak ada kata yang bisa diungkapkan hanya untaian
bahagia yang aku rasakan.
“Dik
Rahma, terimakasih atas jawabannya. Bapak turut bahagia. Semoga Rizky bisa
menjadi Imam bagimu dan anak-anakmu kelak. Oya atas rasa syukur ini, Bapak akan
menghadiahkan dua paket umroh untuk kalian berdua. Sekalian berbulan madu
hahaha.” Kata pak Soleh sambil tertawa.
Allahu
Akbar, sungguh Indah
nian rencanamu.
Dua gembira yang kini ku terima. Kau
kirim aku calon suami yang soleh dan juga undangan-Mu ke Tanah suci. Ku peluk
Bunda yang berada disampingku. Bulir
bening itu kian membanjiri, sungguh aku tak mampu menahannya. Rasa bahagia ini
mampu membuat Aku dan Bunda tenggelam dalam tangis.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar