Minggu, 29 Juni 2014

Cerpen Umroh


Hadiah Umroh Dari  Sang Mertua
By : Fitrotul Mr

Sang fajar sudah menampakkan dirinya, suara kokok ayam sudah saling bersahutan, waktu baru menunjukkan pukul setengah empat pagi. suara tarhiman dari masjid terdengar sangat nyaring. Mata yang biasanya masih terlelap sekarang sudah bersinar terang. Hati ini sudah tidak sabar menunggu pagi. Pasalnya hari ini Ayah dan Bunda pulang dari tanah suci, berbagai persiapan kulakukan, dari mulai membersihkan rumah sampai memasakkan makanan kesukaan Ayah dan Bunda. Semua ini dilakukan atas rasa syukur dan bahagia.
Setelah sampai dirumah cerita demi cerita pun terlontar dari bibir Ayah dan Bunda, dari mulai saat melihat ka’bah, dan dimana setiap orang melihatnya pasti akan berlinangan air mata, hingga cerita kejadian-kejadian lucu tentang orang-orang berkulit gelap.
Aku lihat foto dan video Ayah waktu di Mekah, bangunan Ka’bahnya sangat indah pohon-pohon kurma yang berjajar rapih terlihat sedap dipandang  mata. ada juga video bunda waktu di masjidil harom. Aku sangat takjub ketika melihat payung raksasa otomatis, yang  menjadi baground video ibu. Payung itu akan membuka jika cuacanya panas.
“Ini masjid qisos.” kata Ayah waktu aku tanya foto itu diambil dimana.
“Masjid qisos? Trus Ayah waktu disitu ada yang di qisos tidak?” tanyaku penasaran
“Tidak ada.” jawab Ayah.
Ya Allah, sungguh indah nian tempat-Mu. Setelah melihat foto-foto dan video yang ayah kasih, entahlah hatiku berdegup kencang, ada uvoria yang kian menyelip dalam sanubariku. Ya Robb, Izinkan suatu hari aku bisa memenuhi panggilan-Mu. Sungguh aku amat sangat rindu, rindu ingin berkunjung ke rumah-Mu, rindu berziarah kemakam kekasih-Mu.
Aku bingung, harus dengan cara apa mewujudkan impianku ini? Sedang aku belum bisa mencari uang sendiri. Kuliah pun masih dibiayai orang tua. Jalan satu-satunya adalah meminta sama Allah. Rajin berdo’a dan menyenangkan hati sesama muslim. Aku ingat Allah pernah berfirman dalam sebuah hadist qudsi, : ud’unii astajib lakum (memintalah kepada-Ku maka AKU akan mengabulkannya).
satu bulan sudah Ayah dan Bunda kembali ketanah air. Cerita tentang bahagianya di Tanah suci terkadang masih terlontar dari bibir mereka, hingga suatu hari Ayah mengutarakan keinginannya ingin berhaji lagi.
“Nok, Ayah mau daftar haji lagi, sama kamu atau sama Haikal?” kata Ayah suatu malam.
“Ya sama Aku Yah, masa sama Haikal, kan aku kakaknya?” jawabku tak mau mengalah.
“ Begini loh Nok, masa tunggu haji sekarang itu 10 tahun, kalau Ayah perginya sama kamu, kemungkinan kamu sudah menikah, masa suamimu mau kamu tinggal sendirian, naik haji itu enaknya barengan sama suami.”
“Ya biarin, yang penting aku bisa naik haji.” Ucapku sambil manyun.
“Ya sudah begini saja, kalau kamu sudah menikah ajak suamimu daftar haji, kamu yang biayain Ayah, sedangkan suamimu cari biaya sendiri.” Ayah masih berusaha untuk menjelaskan.
Dengan terpaksa aku terima, padahal dalam hati menggerutu, nawarin tapi maksa keinginan sendiri. Kalau pun Ayah yang membiayaiku, tetap saja Haikal yang duluan berangkat, beruntung sekali adikku.
Hari-hari kujalani seperti biasa, namun dalam hati ada perasaan yang selalu mengganjal, kenapa harus adikku, disinikan aku yang jadi kakaknya.
Aku mencoba untuk mengikhlaskannya, selalu menggerutu pun tak akan menyelesaikan masalah. Yang ada hanya membuat penyakit dalam hati.
Mungkin Allah belum memperkenankanku untuk mengunjungi rumah-Nya. Aku sadar haji itu adalah panggilan dari Allah. Dan mungkin adikku lebih berkenan Allah undang menjadi tamuNya. Banyak orang yang sehat jasmani, pekerjaan mapan akan tetapi ia tidak mau pergi haji. Namun seorang pemulung yang penghasilannya jauh dibawah standar, mampu pergi haji walaupun ia harus menabung 10 tahun lamanya. Subhanallah Allah lebih memperkenankan seorang pemulung yang menjadi tamu-Nya.
Suatu hari Ayah mau berziarah ke pamijahan, dia mengajakku untuk menemaninya. Kata Ayah di goa pamijahan ada topi haji, yang menurut orang-orang kalau ukuran kepalanya pas dengan salah satu topi di situ maka kemungkinan besar ia akan pergi haji. Aku langsung tertarik untuk ikut.
“Tapi ingat yang menghajikan itu Allah, bukan topi itu.” Kata Ayah.
“Ya iya Ayah, aku hanya ikhtiar, mungkin topi itu salah satu perantara yang telah Allah atur.”  Jelasku.
***
Matahari mulai melenyapkan dirinya, Hembusan angin lembut  memasuki pori-pori disetiap tubuhku, hingga menambah kesejukan sore ini. Orang-orang mulai berdatangan dan satu persatu memasuki mobil bis, hingga semuanya telah siap dan mobil bis mulai melaju pelan-pelan meninggalkan desa ini.
Seorang ustadz mulai memimpin do’a naik kendaran. Sholawat kepada Nabi Muhammad ikut mengiri laju mobil bis kami, semangat rombongan ziarah masih terlihat meletup-letup hingga sayup-sayup dan akhirnya tak terdengar lagi.
Tempat pertama yang kami ziarahi adalah sunan gunung jati, kemudian Banten dan terahir gua pamijahan.
Aku masuk ke dalam Goa bersama rombongan, didalam Goa benar-benar gelap. Hanya lampu senter dan patromax milik pemandu Goa yang mampu memberikan penerangan. Jalan yang licin dan genangan air yang lumayan dalam, membuatku susah melangkah dengan cepat, tetesan air yang keluar dari atas bebatuan membuat kerudungku basah.
“ Di sini tempat para wali bermusyawah, dan itu mimbar buat khotbah jum’at. Para wali biasa melaksanakan sholat jum’at di situ.” Kata pemandu
“Dan air ini adalah air Zam-zam.” Sambungnya sambil menengadahkan tangannya di tetesan air.
“Nah kalau mau minum air Zam-zam silahkan disana sudah disediakan, kalau mau ditaruh dibotol juga boleh. Tetapi semua botol dikumpulkan sama ketua rombongan, nanti biar ketua rombongan yang bertanggung jawab.” Sambungnya.
Sayangnya aku tidak bawa botol mineral, jadi terpaksa hanya minum disitu. Sebenarnya disitu juga menjual air Zam-zam. Satu botol besar seharga 2500 tapi uangku ada didalam tas, untuk mengambilnya pun sangat susah, karena selain jalannya becek banyak orang yang mengantri ingin meminumnya.
Setelah lumayan lama aku dan rombongan menyusuri Goa, tiba disebuah lorong gua yang didalamnya terdapat sebelas topi haji. Jika diantara topi-topi itu ada yang pas dikepala, kemungkinan besar bisa menunaikan ibadah haji. Tetapi aku tidak tahu itu mitos atau bukan, semua itu dikembalikan pada diri sendiri. Haji itu berdasarkan panggilan  Allah, yang menurut Allah pantas untuk menjadi tamu-Nya.
Ahirnya aku bisa masuk juga, walaupun keadaan berdesak-desakkan, karena bukan hanya rombonganku saja yang berada di goa itu, banyak rombongan yang berebut masuk, bahkan rombongan yang sudah masuk pun kesulitan untuk keluar dari lorong itu.
Setelah berada didalam lorong itu, Aku mencoba semua topi yang  ukurannya berfariasi, ada yang besar yang sedang dan ada juga yang kecil.
“ya Allah, pergi kerumah-Mu adalah impianku, sekiranya mencoba topi ini adalah sebuah perantara untuk  bertamu kerumah-Mu, maka izinkanlah aku untuk bertamu dan menziarahi makam kekasih-Mu, Allahumma ballighnaa makkata wal madinah li ziaroti haromika wa haromi habibika sayyidina Muhammadin sollallahu ‘alaihi wasallam, yusron wala ‘usron ma’ar rouhati wassalamat birohmatika yaa arhamarrohimin.” Do’aku dalam hati agar dimudahkan perjalanan untuk sampai ke Mekkah sana.
“Pak haji?” ucap salah seorang lelaki yang seumuran Ayah. Sambil menepuk punggung Ayah saat ingin keluar goa.
“Eeehhh Pak Soleh, ziarah juga Pak?” jawab Ayah ketika berada dipintu keluar
“Anaknya udah besar dan cantik ya Pak?” ucap dia sambil menoleh ke arahku
Aku hanya tersenyum malu-malu dan menjabat tangannya, pak Saleh malah membisiki Ayah, aku tak tahu apa yang pak Saleh bisikkan, yang kulihat Ayah hanya manggut-manggut.
***
“Nok, tolong buatin minum buat tamu Ayah!” kata ibu menghampiriku yang sedang membaca buku.
“Berapa Bu?”
“Tiga.”
 Aku mengantarkan teh ke ruang tamu.
“Silahkan diminum.” Ucapku sambil mengulas senyum.
“Ma, ini rizky loh yang waktu kecil sering ngledekin kamu dan buat kamu nangis.” Kata Ayah.
“Kak Rizky?” Refleks kepalaku terangkat
“Ooh, jadi kamu Rahma yang dulunya cengeng ya?” Rizky menunjukku sambil terkekeh-kekeh.
“tambah cantik.” Sambungnya.
Dia hanya membalas dengan senyum, wuiisss hatiku deg-deg ser tidak karuan, mana tambah cakep. Tapi kalau ingat waktu masih kecil, Ukh bikin sebel.
Semenjak pertemuan itu Rizky sering memberikan kabar, ternyata Rizky itu kuliah di Jakarta. Pantas saja tambah keren.
“Ma, setelah pertemuan itu tidak tahu kenapa perasaan Kakak selalu yakin kalau Rahma akan menjadi istri Kakak. Apalagi melihat Rahma berbalut kerudung berwarna merah, terlihat sangat anggun. kiranya Rahma berkenan Kakak akan mempersuntingmu sebagai istri.” Pesan singkat dari Kak Rizky.
Subhanallah, hatiku benar-benar dibuat melayang. Pasalnya Aku juga mencintainya. Semoga keputusan yang akan ku ambil tepat.
“Kakak, sungguh Rahma sangat tersanjung dengan tawaran Kakak, akan tetapi Rahma tidak mau terburu-buru dalam mengambil keputusan, sekiranya kakak berkenan menunggu, tunggulah jawaban adik 3 hari lagi.” Balasan dariku segera terkirim
Tak lama berselang handponeku berbunyi lagi, bunyi yang menandakan ada pesan masuk. Segera ku ambil dan kubaca isinya.
“Iya Ma, apapun keputusanmu, Kakak akan menerima dengan lapang dada. Kakak siap menunggu jawabanmu”
Pesan terahir dari Kak Rizky membuat tenang hatiku. Aku bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat isya dan di lanjut dengan sholat istihoroh, berharap mampu temukan Kak Rizky di alam tidurku.
Esoknya aku segera sms Kak Rizky
“Kak, hari ini Rahma siap menjawab lamaranmu. Akan tetapi Rahma tidak bisa membalasnya lewat sms ini. Nanti sore aku tunggu Kakak di rumah.”
***
“Bismillahirrohmanirrohim semoga keputusan saya ini tidak membuat kecewa semua orang yang ada disini. Ahirnya saya memutuskan untuk menerima lamaran Kakak.” Jawabku ketika utusan dari keluarga Kak Rizky menerangkan tujuannya bersilaturrahmi.
Air mata pun mulai membasahi pipi, tak ada kata yang bisa diungkapkan hanya untaian bahagia yang aku rasakan.
“Dik Rahma, terimakasih atas jawabannya. Bapak turut bahagia. Semoga Rizky bisa menjadi Imam bagimu dan anak-anakmu kelak. Oya atas rasa syukur ini, Bapak akan menghadiahkan dua paket umroh untuk kalian berdua. Sekalian berbulan madu hahaha.” Kata pak Soleh sambil tertawa.
Allahu Akbar, sungguh Indah nian rencanamu. Dua gembira yang kini ku terima. Kau kirim aku calon suami yang soleh dan juga undangan-Mu ke Tanah suci. Ku peluk Bunda yang berada disampingku. Bulir bening itu kian membanjiri, sungguh aku tak mampu menahannya. Rasa bahagia ini mampu membuat Aku dan Bunda tenggelam dalam tangis.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar