Sabtu, 05 April 2014

Rengkuh Aku


Rengkuh Aku Manda
Oleh : Juhaenit Zamzami


Kadang rasa sayang tercurah dengan rasa yang sulit dimengerti.
Sejak kecil aku hidup sebagai anak semata golek dari ayah dan ibu yang begitu menyayangiku, walaupun sejak kecil aku selalu dalam buaiyan babysister namun itu tak mengusik rasa sepiku dan sedikitpun tak terbesit dalam benakku bahwa orang tua ku tidak mencintaiku.
Fasilitas yang diberikan sanggup membuatku berfikir bahwa mereka adalah orangtua kandungku yang telah mengandung dan membesarkanku sejak kecil namun diusiaku yang menginjak 12 tahun cerita tentangku terkuak sudah. Betapa sedih hatiku mendengar kenyataan bahwa aku bukanlah anak ayah dan ibu yang selama ini bersamaku lantas di mana ayah dan ibu kandungku sebenarnya?
            Perasaan ku kian berkecamuk dengan kadar penasaran yang membubuh tinggi mengayunkan lamunanku dari semua pertanyaan sekelumit jati diri yang sebenarnya. Namun yang tidak habis fikir bahwa kenapa saya berada dalam keluarga ini? Apakah ayah dan ibuku membuangku atau mereka kehilanganku sejak kecil kayak yang di sinetron-sinetron itu. Ah! Lagi-lagi aku mengisi fikiranku dengan berpusing ria menerka semua kemungkinan yang ada, karena sesungguhya sejak kecil aku lebih suka bermain tebak-tebakan bersama teman sebayaku. Jadi, tidaklah heran kalau soal menebak aku mempunyai banyak analisis hipotesis guna meruncingkan sebuah masalah.
            Rumor yang disebarin oleh tetangga kian memanas dan semakin kencang terdengar ditelinga,  aku tanya sama ayah dan ibu jawab “kamu itu anak ibu jadi jangan percaya mereka karena mereka hanya iri melihatmu.” Aku pun percaya itu. Namun kebenaran adalah hak jadi cepat atau lambat kebenaran akan terungkap. Persisinya kala aku sedang di rumah nenek dan bercengkrammah di ruang TV, pada saat itu datang seorang wanita cantik yang tak lain itu adalah Syifa adik dari ayah.
            “Assalamu`alaikum…” Suara tante Syifa seraya dari balik pintu.
            “Wa`alaikumussalam…” Jawab nenek dan aku serempak.
            Aku segera bergegas membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk. Tak lama kemudian kami larut dalam gelak canda dan tawa renyah mengisi hari liburku di rumah nenek.
            “Kamu sudah gede, Nok mulai sekarang kamu jangan panggil tante Syifa dengan sebutan tante ya sayang, tapi panggil dia Bunda.” Pinta nenek tiba-tiba.
            Degg... Kalimat itu mampu membuatku diam seribu bahasa beberapa detik. Tanya pun mulai muncul dan berkelibet di atas kepalaku. Sembari ragu-ragu aku tanya sama nenek “Kenapa aku harus memanggilnya dengan sebutan Bunda?  Siapa dia sebenarnya? Bukankah Bundaku itu bernama Sintia?” Dengan pertanyaan yang bertubi ini ku harap tahu sebuah kebenarannya.
            “Anakku, perlu kamu tahu. Sejak umur satu tahun kamu di asuh sama Sintia yang tak lain itu kakak ipar ibu, Nak.” Menjelaskan dengan nada sendu dan sedikit terlihat getar dan linangan air mata.
            “Tapi apa alasannya Bunda memberikan aku pada Ibu Sintia? Apa bunda tak mencintai aku atau bahkan aku tidakllah berharga bagimu?” Tanya ku kembali menyeruak menyela penjelasan Bunda yang kala itu belum rampung.
            “Bukan seperti itu nak. (Sembari memelukku) Maafkan Bunda, sunggah Bunda sayang denganmu namun bunda juga sayang dengan kakak bunda. Jadi ada sebuah alasan yang tak mampu Bunda jelaskan biar nanti kakak saja yang lebih berhak menjelaskannya sayang. Tapi yakinlah ini semata aku lakukan untuk kebaikan bersama.”
            “Tapi rasanya ini tak adil, kenapa Bunda rela berpisah denganku. Bunda tidak pernah tau bagaimana rasanya dipeluk oleh wanita yang dengan susah payah menggendongku dalam perutnya dalam buaiannya aku hidup menyusahkanmu selama Sembilan bulan.”Membatin yang masih dalam deraian air mata dalam pelukan Bunda.
            Lalu dengan segera aku melepaskan pelukan hangat itu dan bergegas ke rumah Bu Sintia. Tanpa permisi aku langkahkan kakiku pergi dari rumah nenek, walau terdengar suara nenek dan Bunda saling bergantian menyerukan tanya “Mau kemana nak?” “Tenangkanlah dulu dirimu?” Namun aku tak sedikitpun menoleh dan menggubrisnya.
***
            Sesampainya di rumah tanpa berfikir lagi aku langsung menanyakan perihal itu lalu Bunda Sintia tetap menjawab bahwa aku adalah anaknya namun tak berselang lama Ayah datang dan membawaku ke ruang tengah.
“Nak, mungkin inilah waktunya ayah menjelaskan perihal dirimu.” Suara ayah menjelaskan dengan nada terbata ayah melanjutkan katanya “Kalau memang nenek yang bilang bahwa Syifa itu Ibu yang telah mengandungmu itu adalah benar.”
“Lantas kenapa selama ini ayah dan ibu tidak memberitahuku masalah ini dan kenapa aku bias berada di sini?” Seraya memotong penjelasan ayah
“Dengarlah dulu penjelasan ayah nak. (sembari menghela nafas) waktu itu Bunda Sintia melahirkan dengan cara sesar namun sayangnya anak itu tidak tertolong karena keterlambatan pihak medis dalam memberikan sebuah tindakan namun itu bukan salah dari pihak rumah sakit tapi melainkan dari pihak kami. Lalu berhubung ini adalah anak pertama kami, Bunda sangat bahagia mendengar kelahiran dan ingin melihat anaknya namun apalah dikata anaknya sudah tiada. Jika kami bilang anaknya sudah tiada ayah hawatir bunda akan sock dan berakibat fatal pada jahitan yang ada di perutnya itu. Alhasil ayah meminjammu sebagai anak pura-pura saja namun seiring berjalannya waktu kau pun mulai nyaman. Dan ayah fikir ibumu juga tak keberatan jika kau ku angkat menjadi anak ayah.”
Aku dan ayah mulai larut dalam suasana haru yang tak lama kemudian bunda Sintia datang menemani kami berdua. Adapun melanjutkan penjelasannya.
“Anakku, perlu kamu tahu bahwa pada saat itu ibumu Syifa sudah cerai semenjak melahirkanmu. Jadi, ayah fikir lebih baik jika kamu tinggal bersamaku dengan orang tua yang lengkap dan memutuskan agar kamu tak tahu dulu perihal ayah dan ibu kandungmu sampai mentalmu siap menerima keadaan ini.”
“Bunda Syifa sungguh kau wanita yang luar biasa karena hatimu sungguh mulia, dengan kebesaran hatimu memberikan anakmu, anak yang semestinya menjadi pelipur lara dan teman yang mampu membuat mu tersenyum kala engkau ditinggalkan oleh suamimu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit dalam hatimu manakala di tinggal cerai oleh suami dan pula harus berpisah dengan anak pertama mu.” Seruku dalam hati
Masih dalam suasana hening dan diam seribu kata. Dari ruang inilah aku tahu sejarahku dan dari hari inilah aku tahu anak siapa sebenarnya. Aku mulai mengorek memoriku pantas saja aku hanya diasuh oleh baby sister namun ayahku itu menutupi semua tuduhan bahwa mereka tidak menyayangiku, ayah selalu memberi apa yang aku minta dan memperlakukan aku dengan kasih sayangnya.
Dari kejadian itu aku sering bertandang ke rumah ibu kandung walau hanya sekedar bermain dengan Iin adik pertamaku atau hanya melepas lelah sepulang sekolah. Wajarlah jika aku ingin dekat dengan sosok wanita luar biasa ini sebagaimana telah terpisah selama belasan tahun ini. Namun dari sikapku ini mampu mengundang api cemburu bunda Sintia. Aku selalu disuruh-suruh dan yah pokoknya beda banget dengan yang dulu, laksana anak itu mungkin aku sudah seperti anak tiri.
Lagi-lagi nyeret cerita TV yang tentang perlakuan ibu pada anak tirinya tapi ini beneran, aku selalu di ajak kerja-kerja dan kerja, jangankan untuk main kerumah teman untuk main di halaman rumah saja aku sudah susah. Dalih ayah sih bilangnya harus bisa kerja karna manusia butuh makan dan makan akan kita dapatkan manakala kita kerja. Memang benar sih ayah itu menanamkan disiplin dan mengajariku kerja sedini mungkin tapi aku merasa aku bukanlah anak kecil yang bebas sebagaimana mestinya anak kecil yang riang bermain bersama teman sebayanya.
penderitaanku bukan hanya sampai di situ. Manakala pendidikan tingat SD ku selesai, aku dikirim ke sebuah daerah yang jauh dari rumah untuk mesantren, aku berfikir mungkin ini salah satu cara ayah dan ibu menjauhkan aku dengan bunda Syifa. Tapi seiring dentakan jam yang terus bergerak maju dan tak bisa mundur kecuali jam itu rusak, aku mulai sadar bahwa apa yang dilakukan ayah dan ibu padaku itu semua memang untuk kebaikanku.
Kadang rasa sayang tercurah dengan rasa yang sulit dimengerti, seperti halnya sang kucing yang menggigit leher anaknya guna memindahkan anaknya dari bahaya yang akan mengancamnya. Ayah dan ibuku tau mungkin jika aku di rumah itu tidaklah baik dan ayah memesantrenkan aku itu semata agar aku menjadi anak yang sholihah. Inilah anakmu anak kecil yang belajar berjalan di bumi-Nya belajar memahami arti kehidupan dan mengerti makna kasih sayang maka dari itu Manda rengkuh aku.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar