Rengkuh Aku
Manda
Oleh :
Juhaenit Zamzami
Kadang rasa sayang tercurah dengan rasa yang sulit dimengerti.
Sejak kecil aku hidup sebagai anak semata golek dari ayah dan
ibu yang begitu menyayangiku, walaupun sejak kecil aku selalu dalam buaiyan
babysister namun itu tak mengusik rasa sepiku dan sedikitpun tak terbesit dalam
benakku bahwa orang tua ku tidak mencintaiku.
Fasilitas yang diberikan sanggup membuatku berfikir bahwa mereka
adalah orangtua kandungku yang telah mengandung dan membesarkanku sejak kecil
namun diusiaku yang menginjak 12 tahun cerita tentangku terkuak sudah. Betapa
sedih hatiku mendengar kenyataan bahwa aku bukanlah anak ayah dan ibu yang
selama ini bersamaku lantas di mana ayah dan ibu kandungku sebenarnya?
Perasaan ku kian berkecamuk dengan
kadar penasaran yang membubuh tinggi mengayunkan lamunanku dari semua
pertanyaan sekelumit jati diri yang sebenarnya. Namun yang tidak habis fikir
bahwa kenapa saya berada dalam keluarga ini? Apakah ayah dan ibuku membuangku
atau mereka kehilanganku sejak kecil kayak yang di sinetron-sinetron itu. Ah! Lagi-lagi
aku mengisi fikiranku dengan berpusing ria menerka semua kemungkinan yang ada,
karena sesungguhya sejak kecil aku lebih suka bermain tebak-tebakan bersama
teman sebayaku. Jadi, tidaklah heran kalau soal menebak aku mempunyai banyak
analisis hipotesis guna meruncingkan sebuah masalah.
Rumor yang disebarin oleh tetangga
kian memanas dan semakin kencang terdengar ditelinga, aku tanya
sama ayah dan ibu jawab “kamu itu anak ibu jadi jangan percaya mereka karena mereka hanya iri melihatmu.”
Aku pun percaya itu. Namun kebenaran adalah hak jadi cepat atau lambat
kebenaran akan terungkap. Persisinya kala aku sedang di rumah nenek dan
bercengkrammah di ruang TV, pada saat itu datang seorang wanita cantik yang tak
lain itu adalah Syifa adik dari ayah.
“Assalamu`alaikum…” Suara tante
Syifa seraya dari balik pintu.
“Wa`alaikumussalam…” Jawab nenek dan
aku serempak.
Aku segera bergegas membukakan pintu
dan mempersilahkannya masuk. Tak lama kemudian kami larut dalam gelak canda dan
tawa renyah mengisi hari liburku di rumah nenek.
“Kamu sudah gede, Nok mulai sekarang
kamu jangan panggil tante Syifa dengan sebutan tante ya sayang, tapi panggil
dia Bunda.” Pinta nenek tiba-tiba.
Degg... Kalimat itu mampu membuatku
diam seribu bahasa beberapa detik. Tanya pun mulai muncul dan berkelibet di
atas kepalaku. Sembari ragu-ragu aku tanya sama nenek “Kenapa aku harus memanggilnya
dengan sebutan Bunda? Siapa dia
sebenarnya? Bukankah Bundaku itu bernama Sintia?” Dengan pertanyaan yang
bertubi ini ku harap tahu sebuah kebenarannya.
“Anakku, perlu kamu tahu. Sejak umur
satu tahun kamu di asuh sama Sintia yang tak lain itu kakak ipar ibu, Nak.”
Menjelaskan dengan nada sendu dan sedikit terlihat getar dan linangan air mata.
“Tapi apa alasannya Bunda memberikan
aku pada Ibu Sintia? Apa bunda tak mencintai aku atau bahkan aku tidakllah
berharga bagimu?” Tanya ku kembali menyeruak menyela penjelasan Bunda yang kala
itu belum rampung.
“Bukan seperti itu nak. (Sembari
memelukku) Maafkan Bunda, sunggah Bunda sayang denganmu namun bunda juga sayang
dengan kakak bunda. Jadi ada sebuah alasan yang tak mampu Bunda jelaskan biar
nanti kakak saja yang lebih berhak menjelaskannya sayang. Tapi yakinlah ini
semata aku lakukan untuk kebaikan bersama.”
“Tapi rasanya ini tak adil, kenapa
Bunda rela berpisah denganku. Bunda tidak pernah tau bagaimana rasanya dipeluk
oleh wanita yang dengan susah payah menggendongku dalam perutnya dalam
buaiannya aku hidup menyusahkanmu selama Sembilan bulan.”Membatin yang masih
dalam deraian air mata dalam pelukan Bunda.
Lalu dengan segera aku melepaskan
pelukan hangat itu dan bergegas ke rumah Bu Sintia. Tanpa permisi aku
langkahkan kakiku pergi dari rumah nenek, walau terdengar suara nenek dan Bunda
saling bergantian menyerukan tanya “Mau kemana nak?” “Tenangkanlah dulu
dirimu?” Namun aku tak sedikitpun menoleh dan menggubrisnya.
***
Sesampainya di rumah tanpa berfikir
lagi aku langsung menanyakan perihal itu lalu Bunda Sintia tetap menjawab
bahwa aku adalah anaknya namun tak berselang lama Ayah datang dan membawaku ke
ruang tengah.
“Nak,
mungkin inilah waktunya ayah menjelaskan perihal dirimu.” Suara ayah
menjelaskan dengan nada terbata ayah melanjutkan katanya “Kalau memang nenek yang
bilang bahwa Syifa itu Ibu yang telah mengandungmu itu adalah benar.”
“Lantas
kenapa selama ini ayah dan ibu tidak memberitahuku masalah ini dan kenapa aku
bias berada di sini?” Seraya memotong penjelasan ayah
“Dengarlah
dulu penjelasan ayah nak. (sembari menghela nafas) waktu itu Bunda Sintia
melahirkan dengan cara sesar namun
sayangnya anak itu tidak tertolong karena keterlambatan pihak medis dalam
memberikan sebuah tindakan namun itu bukan salah dari pihak rumah sakit tapi
melainkan dari pihak kami. Lalu berhubung ini adalah anak pertama kami, Bunda
sangat bahagia mendengar kelahiran dan ingin melihat anaknya namun apalah
dikata anaknya sudah tiada. Jika kami bilang anaknya sudah tiada ayah hawatir
bunda akan sock dan berakibat fatal pada jahitan yang ada di perutnya itu.
Alhasil ayah meminjammu sebagai anak pura-pura saja namun seiring berjalannya
waktu kau pun mulai nyaman. Dan ayah fikir ibumu juga tak keberatan jika kau ku
angkat menjadi anak ayah.”
Aku
dan ayah mulai larut dalam suasana haru yang tak lama kemudian bunda Sintia
datang menemani kami berdua. Adapun melanjutkan penjelasannya.
“Anakku,
perlu kamu tahu bahwa pada saat itu ibumu Syifa sudah cerai semenjak
melahirkanmu. Jadi, ayah fikir lebih baik jika kamu tinggal bersamaku dengan
orang tua yang lengkap dan memutuskan agar kamu tak tahu dulu perihal ayah dan
ibu kandungmu sampai mentalmu siap menerima keadaan ini.”
“Bunda
Syifa sungguh kau wanita yang luar biasa karena hatimu sungguh mulia, dengan
kebesaran hatimu memberikan anakmu, anak yang semestinya menjadi pelipur lara
dan teman yang mampu membuat mu tersenyum kala engkau ditinggalkan oleh
suamimu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit dalam hatimu manakala
di tinggal cerai oleh suami dan pula harus berpisah dengan anak pertama mu.”
Seruku dalam hati
Masih
dalam suasana hening dan diam seribu kata. Dari ruang inilah aku tahu sejarahku
dan dari hari inilah aku tahu anak siapa sebenarnya. Aku mulai mengorek
memoriku pantas saja aku hanya diasuh oleh baby sister namun ayahku itu menutupi
semua tuduhan bahwa mereka tidak menyayangiku, ayah selalu memberi apa yang aku
minta dan memperlakukan aku dengan kasih sayangnya.
Dari
kejadian itu aku sering bertandang ke rumah ibu kandung walau hanya sekedar
bermain dengan Iin adik pertamaku atau hanya melepas lelah sepulang sekolah.
Wajarlah jika aku ingin dekat dengan sosok wanita luar biasa ini sebagaimana
telah terpisah selama belasan tahun ini. Namun dari sikapku ini mampu
mengundang api cemburu bunda Sintia. Aku selalu disuruh-suruh dan yah pokoknya
beda banget dengan yang dulu, laksana anak itu mungkin aku sudah seperti anak
tiri.
Lagi-lagi
nyeret cerita TV yang tentang perlakuan ibu pada anak tirinya tapi ini beneran,
aku selalu di ajak kerja-kerja dan kerja, jangankan untuk main kerumah teman
untuk main di halaman rumah saja aku sudah susah. Dalih ayah sih bilangnya
harus bisa kerja karna manusia butuh makan dan makan akan kita dapatkan
manakala kita kerja. Memang benar sih ayah itu menanamkan disiplin dan
mengajariku kerja sedini mungkin tapi aku merasa aku bukanlah anak kecil yang
bebas sebagaimana mestinya anak kecil yang riang bermain bersama teman
sebayanya.
penderitaanku
bukan hanya sampai di situ. Manakala pendidikan tingat SD ku selesai, aku
dikirim ke sebuah daerah yang jauh dari rumah untuk mesantren, aku berfikir
mungkin ini salah satu cara ayah dan ibu menjauhkan aku dengan bunda Syifa.
Tapi seiring dentakan jam yang terus bergerak maju dan tak bisa mundur kecuali
jam itu rusak, aku mulai sadar bahwa apa yang dilakukan ayah dan ibu padaku itu
semua memang untuk kebaikanku.
Kadang rasa sayang tercurah
dengan rasa yang sulit dimengerti, seperti halnya sang kucing yang menggigit
leher anaknya guna memindahkan anaknya dari bahaya yang akan mengancamnya. Ayah
dan ibuku tau mungkin jika aku di rumah itu tidaklah baik dan ayah
memesantrenkan aku itu semata agar aku menjadi anak yang sholihah. Inilah
anakmu anak kecil yang belajar berjalan di bumi-Nya belajar memahami arti
kehidupan dan mengerti makna kasih sayang maka dari itu Manda rengkuh aku.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar