Sabtu, 01 Maret 2014

makna sakit

share info


Makna Sakit
By Munif Chatib

بسم الله الرحمن الرحيم
Kala sakit di tanah suci, ada hal yang saya syjuri yaitu rukun haji sudah tuntas. Hanya terakhir lempar jumroh yang diwakilkan. Namun setiap detik terus menjadi perenungan buat saya, kenap
a saya sakit? Pada saat wukuf di Arofah saya sudah demam. Pada saat tawaf ifadhoh saya menjalankannya dengan kursi roda, padahal sebelumnya saya sampai empat kali tawaf sunnah dengan sehat walafiat. Pertanyaan besarnya kenapa saya sakit? Saya mencoba meyakinkan diri kalau sakit saya adalah penghapus dosa-dosa besar saya. Dengan sakit berarti saya sekarang seperti bayi, seperti lahirkan kembali. Alangkah bahagianya ketika saya mendapat pesan dari seorang sahabat tentang makna sakit. Sebuah artikel sederhana yang cukup menyejukkan dari Ustad Muhammad Arifin Ilham. Saya lampirkan artikel tersebut di bawah ini. Saya mengajak semua sahabat untuk merenungkan artikel bagus ini.

Makna Sakit
Oleh: Muhammad Arifin Ilham 
Sakit, sebagaimana juga setiap ujian, bukan menguji ketangguhan dan kemampuan. Sebab sakit Allah beri sudah sesuai dengan takaran dan daya tahannya. 
Ia sejatinya menguji kemauan untuk memberi makna. Maka bagi dia yang mampu memberi makna terbaik bagi sakit, insya Allah kemuliaannya diangkat dan membuat malaikat yang selalu sehat takjub.

Sakit adalah jalan kenabian Ayub yang menyejarah. Kesabarannya yang lebih dari batas (disebut dalam sebuah hadits 18 tahun menderita penyakit aneh) diabadikan jadi teladan semesta. Dan atas kenyataan sejarah tersebut, hari ini cobalah bercermin kepadanya. 
Hari ini pula kita bisa bercermin kepada sosok-sosok mulia yang pernah juga sakit. Sakit, yang di ujung penggal kehidupan mereka yang ditemukan adalah kemuliaan serta terus bertambah derajat kemuliaanya di mata Allah SWT. 

Imam As-Syafi’i wasir sebab banyak duduk menelaah ilmu; Imam Malik lumpuh tangannya dizhalimi penguasa; Nabi tercinta kita pun pernah sakit oleh racun paha kambing di Khaibar yang menyelusup melalui celah gigi yang patah di perang Uhud. Bukankah setelah akhirnya sakit, semuanya semakin mulia di mata Allah bahkan juga di mata sejarah manusia.
Sakit itu zikrullah. Mereka yang menderitanya akan lebih sering dan syahdu menyebut Asma Allah dibanding ketika dalam sehatnya. 

Sakit itu istighfar. Dosa-dosa akan mudah teringat, jika datang sakit. Sehingga lisan terbimbing untuk mohon ampun.
Sakit itu tauhid. Bukankah saat sedang hebat rasa sakit, kalimat thoyyibat yang akan terus digetar?
Sakit itu muhasabah. Dia yang sakit akan punya lebih banyak waktu untuk merenungi diri dalam sepi, menghitung-hitung bekal kembali. Sakit itu jihad. Dia yang sakit tak boleh menyerah kalah; diwajibkan terus berikhtiar, berjuang demi kesembuhannya. 

Bahkan sakit itu ilmu. Bukankah ketika sakit, dia akan memeriksa, berkonsultasi dan pada akhirnya merawat diri untuk berikutnya ada ilmu untuk tidak mudah kena sakit.
Sakit itu nasihat. Yang sakit mengingatkan si sehat untuk jaga diri. Yang sehat hibur si sakit agar mau bersabar. Allah cinta dan sayang keduanya. 
Sakit itu silaturrahim. Saat jenguk, bukankah keluarga yang jarang datang akhirnya datang membesuk, penuh senyum dan rindu mesra? Karena itu pula sakit adalah perekat ukhuwah.
Sakit itu gugur dosa. Barang haram tercelup di tubuh dilarutkan di dunia, anggota badan yang sakit dinyerikan dan dicuci-Nya.
Sakit itu mustajab doa. Imam As-Suyuthi keliling kota mencari orang sakit lalu minta didoaka oleh mereka. 
Sakit itu salah satu keadaan yang menyulitkan syaitan; diajak maksiat tak mampu-tak mau; dosa lalu malah disesali kemudian diampuni.
Sakit itu membuat sedikit tertawa dan banyak menangis; satu sikap keinsyafan yang disukai Nabi dan para makhluk langit. 
Sakit meningkatkan kualitas ibadah; rukuk-sujud lebih khusyuk, tasbih-istighfar lebih sering, tahiyyat-doa jadi lebih lama. 
Sakit itu memperbaiki akhlak; kesombongan terkikis, sifat tamak dipaksa tunduk, pribadi dibiasakan santun, lembut dan tawadhu. 

Dan pada akhirnya sakit membawa kita untuk selalu ingat mati. Mengingat mati dan bersiap amal untuk menyambutnya, adalah pendongkrak derajat ketaqwaan. Karena itu mulailah belajar untuk tetap tersenyum dengan sakit. Wallahu A’lam

Ya Allah SWT semoga sakitku di tanah suci termasuk dalah satu hikmah yang bermakna seperti artkel di atas. Terima kasih bu Nina yang mengirimkan artikelnya. Terima kasih ustad Arifin Ilham atas tulisannya yang memberi semangat. Kini saya tambah yakin, sakitku bukan azab Allah atau musibah negatif yang tak bermakna. Sebaliknya ada jutaan hikmah yang mengguyur bak air hujan.
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tidak ada komentar :

Posting Komentar