Sholawat Pengantar Rahmat
Oleh : Juhaenit Zamzami
Cahaya
bintang gemintang berpendar menyibak awan, yang berarak bagai lukisan dalam
kanvas malam yang bermanadikan rembulan. Angin seakan mengabarkan tentang
kesunyian dan kesepian hidupku tanpa seorang Ayah. Suaraku memekik tertahan dan
hanya tertelan sorotan lampu keheningan. Malam yang indah berteduh di bawah
cahaya rembulan, tatkala hati masih dihimpit kerinduan dan dicerca kepedihan.
Tertawan jiwaku oleh kenyataan pahit nan memilukan.
Masih
terlihat jelas dalam ingatanku dua tahun silam, tragedi yang merenggut nyawa
Ayah tercinta. Waktu itu Aku hendak memberitahukan kabar gembira dari sepucuk
surat putih di balik amplop berukuran sedang yang baru saja kuterima dari
sekolah. Namun tragisnya bukan kabar bahagia yang kuberikan, melainkan kabar
duka yang kuterima. Ayah tertabrak mobil truk saat mencari pelanggan dari
rutinitas membecaknya.
Lamunanku
tentang kisah pedih itu buyar seketika, manakala suara sendu Ibu memanggil. Aku
yang saat itu sedang menikmati indahnya bintang, dengan bersandar di pohon
mangga tepat di depan rumah itu terkejut. “Kak sini!” seru Ibu sambil
melambaikan tangan. Ku kayuh langkah gontai yang langsung menghampiri Ibu yang
kian mematung di depan pintu menunggu kedatanganku.
“Kak,
Adik panasnya tidak turun-turun. Tolong panggilkan becak, kita langsung bawa adik ke Rumah Sakit.” tukas Ibu
setelah kusampai di hadapannya.
Tanpa
basa-basi Aku langsung bergegas, dan tak lama kemudian kembali membawakan becak
guna mengantarkan Adik ke Rumah Sakit. Sesampainya di sana ternyata Bu Dokter
bilang bahwa adikku terkena demam berdarah, mau tidak mau harus dirawat
beberapa hari. Saat aku membayar biaya pendaftaran dan menebus obat di Apotek yang
tersedia di Rumah Sakit itu, tak sengaja bertemu dengan Ibu Aminah.
Ibu
itu masih ingat kalau aku yang dulu pernah menyelamatkan anaknya, nah dari
situlah aku mengenal ibu paruh baya yang kini berdiri anggun di hadapanku. Beberapa
menit aku hanyut dalam perbincangan di lorong rumah sakit yang akhirnya
tersadarlah kalau aku harus segera memberikan obat ini untuk adik di sana.
Ketika ingin pamit Ibu Aminah bertanya di ruang mana adik di rawat, karena Bu
Aminah ingin sekali berbincang lebih banyak lagi sekaligus bersilaturahmi dengan
ibu dan adikku.
Adzan
Isya berkumandang dan kami putuskan untuk bergantian jaga, Ibu memintaku untuk
sholat terlebih dahulu. Aku langsung beringsut keluar dan menghampiri sebuah
masjid yang berada di samping area taman, di situlah aku menjalankan kewajibanku
sebagai muslimah. Usai sholat dan dzikiran di sambung dengan berdoa meminta
kesemebuhan adik, lantas tak pernah ketinggalan semenjak usiaku masih sekitar
13 tahun, aku selalu istiqomah mengamalkan sholawat Nariyah. Melalui Ustadzah
Husna aku mendapat amalan sholawat nariyah yang aku baca selepas sholat fardhu
sebanyak minimal 3 dan maksimal 7 kali. Katanya itu mampu mengundang banyak
faedah dan diantaranya itu untuk mampu berhaji kemudian aku pun sami`na wa atho`na
(tunduk dan patuh).
Seusai
sholat, kini waktunya giliran aku yang jaga adik. Di sela keheningan dalam
sebuah kamar yang berisi dua pasien itu. “Kak, maafin Adik ya? Gara-gara Adik,
Ibu dan Kakak jadi susah.” Pekik adik memecah kebekuan sembari memegangi
tanganku. Membuat desir dalam hati yang mampu menyumbat aliran darah dalam
sekejap.
“Jangan
bicara begitu, Dik. Tidak ada yang menyusahkan, hanya saja kita sedang di
pandang Allah dan diberi sedikit cobaan untuk membesarkan dan mengangkat
derajat kita.” Mencoba membesarkan hati adik.
“Tapikan
Kak, pasti biaya rumah sakit itu mahal, lagian kita tak punya banyak uang
selain uang tabungan kakak yang hendak untuk ibadah haji ibu.”
“Tenang Dik itu urusan Kakak, sekarang yang
penting Adik sembuh dan kembali bersekolah. Ok!” Sembari menghela nafas
panjang.
Terang
saja semenjak Ayah tiada maka aku yang berada mendampingi dan membantu ibu
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bukan hanya memikirkan untuk makan, namun
untuk biaya pendidikan adik dan juga tabungan ibu untuk berhaji. Keseharianku
membantu menjual gorengan dan nasi bungkus yang di buat ibu, lalu siangnya ku
gunakan untuk menjual koran di lampu merah dan tak jarang pula aku ikut
mengamen di situ bersama teman sebaya. Berkejaran dengan petugas Satpol PP itu
hal yang biasa. Gumamku dalam hati
Tiba-tiba
terdengar suara lembut dari belakang hordeng pembatas yang berwarna biru telor
asin, “Assalamu`alaikum…” Suara yang tak asing di telinga, yah itu Bu Aminah
yang tadi bilang ingin menengok adik. Aku langsung menghampirinya takut kalau
Ibu mengira salah ruangan. Berhubung ada perlu jadi Ibu Aminah hanya menengok
sebentar dan mendoakan semoga cepat sembuh sembari memberikan sekranjang buah
dan secarik kertas yang di dalamnya sudah tertulis alamat rumahnya. Seraya
bilang “Setelah adik sembuh nanti, datanglah ke rumahku.”
***
Semilir
angin pagi berhembus menerobos ruangan dan embun mulai membelai dedaunan. Cahaya
bintang gejora tampak berkedip di balik awan. Fajar di ufuk timur mulai
memancarkan sinarnya. Suara adzan Shubuh pun menggema memecah kesunyian, dan
sesekali ku dengar kicau burung-burung menyanyikan kidung keceriaannya. Sungguh
keheningan yang terselip dalam binar kebahagiaan keluarga kami, pasalnya hari
ini adik sudah diizinkan pulang.
Sepulangnya
dari masjid aku dapati Mang Amang dan Ibu yang tengah duduk di kursi tunggu di
depan ruangan adik.
“Waaah
ada tamu, Mang Amang ada yah? Kenapa Mamang tidak masuk?” Tanyaku.
Hening,
baik Mang Amang ataupun Ibu tak ada yang mengeluarkan satu kata. Aku yang tidak
tahu apa-apa semakin bingung melihat kebisuan mereka.
“Ibu,
Mamang, sebenarnya ada apa sih?” Sembari memandangi mereka bergantian.
Lagi-lagi hanya diam yang ku temukan, membuatku semakin penasaran dengan
keadaan yang tengah terjadi.
Beberapa
detik kemudian Mang Amang angkat suara “Mamang hanya memberi kabar tentang…”
Suara mang amang terhenti.
“Tentang
apa Mang?” Hardikku penasaran.
“Hmm…
Anu, itu…” Mang Amang menjawabnya dengan bahasa yang sulit aku mengerti.
“Anu
apa Mang?” Desakku yang mulai tidak sabar menanti jawaban. Sembari
mengernyitkan dahi kulanjutkan pertanyaanku. “Ayo bilang Mang, ada kabar apa sehingga
Mamang repot-repot datang kemari. Bukannya siang juga kami bakal pulang?”
“Iya,
ja ja jadi gini. Hmm… Mamang cuma mau kasih kabar kalau rumahmu kebakaran.” Dengan
terbata-bata Mang Amang pun menyampaikan kabar buruk yang kini tengah menimpa
keluargaku.
“Innalillahi…
Cobaan apa lagi yang kini keluarga kami terima, Allah jika menurut-Mu kami
sanggup memikulnya maka kuatkan kami, aku tahu Engkau tidak akan memberi cobaan
di luar batas kemampuan hambanya.” Desahku membatin.
Tidak
terasa air mataku menetes membasahi pipi, tertegun memaku, dan lunglai. Inilah
tubuhku yang ambruk ke lantai. Mang Amang pun segera membimbingku untuk bangkit
dan mendudukkan di sebelah Ibu yang kini terisak. “Sabar Nak, Mamang tahu apa
yang kalian rasakan. Semua warga juga sudah berusaha memadamkan api saat
rumahmu terbakar, namun sayang sekali api itu baru bisa di padamkan saat rumah
itu sudah rata dengan tanah.” Sembari mengusap punggungku Mang Amang
menjelaskan kejadiannya.
Aku
segera menyeka air mata dan mencoba untuk tegar lalu kepada Mang Amang ku
ucapkan terima kasih atas informasinya. Dengan hati yang berkecamuk aku coba sunggingkan
senyum, namun usahaku gagal. Langsung ku peluk ibu, dengan bersimbah air mata
maka kami pun larut dalam duka.
Setelah
Mang Amang pergi tiba-tiba kami di kagetkan dengan suara adik “Kakak kenapa? Kok
nangis? Kakak tidak suka ya Adik pulang ke rumah?”pertanyaan polos dari adik
mampu melepaskan pelukan eratku.
“Bukan
begitu, Sayang… Hanya saja…” Ibu tidak mampu meneruskan kata-katanya.
“Hanya
apa Bu?”
“Dik,
maafkan kami.” Sembari memegang tubuh mungil adik, aku melanjutkan kata-kata
ibu “Ia dik, kamu harus tahu bahwa semalam rumah kita dilalap si jago merah.”
“Berarti
kita tidak punya rumah dong Kak?”
“Ia
Dik, tapi jangan khawatir kakak akan usahakan sekuat kakak untuk membangun
rumah lagi.”
Adik
langsung nangis dan bergumam “Kenapa sih Kak, Allah itu suka banget memberi
cobaan kepada keluarga kita, kenapa nasib kita sudah miskin masih di coba
dengan kehilangan rumah.”
“Sabar
Nak. Allah hanya ingin menguji iman kita. Sebagai hamba Allah yang taat kita
tidak boleh su`udzon (berprasangka buruk) kepada Allah.” Jelas ibu.
***
Sesampainya
di depan rumah yang sekarang rata dengan tanah.
Berhari,
berbulan, bahkan bertahun, aku tabungkan uang hasil kerjaku untuk menghajikan
ibunda tercinta. Pas tabunganku sudah mencapai Rp 3.600.000. Aku mulai bertanya
bagaimana cara mendaftarkan haji tak disangka rumah gubuk yang berbahan gribig
itu hangus terbakar. Hatiku membeku menatap sebuah kenyataan, rumah sebagai
tempat berteduh sekaligus harta peninggalan Ayah satu-satunya itu ludes dimakan
si jago merah. Aku menerawang jauh.
“Duhai
Allah Yang Maha Pengasih. Kiranya apakah yang harus aku lakukan sekarang?” Sembari
bersandar di pohon beringin dekat dengan masjid, kutatap langit dan jauh
menerawang. sungguh dilanda kebingungan yang mendalam karena aku butuh rumah
untuk singgah namun uang itu adalah tabungan yang hendak ku pergunakan untuk
berhaji ibu. Dilema yang melanda kian merobek kedamaian sanubari mengoyak ke
imananku yang kian tertarik oleh arus yang menghempaskan ke tanah tandus.
Langkah gontai menerobos sinar
mentari yang kian erat memeluk tubuhku. Aku segera mencari alternatif awal
dengan ide membuat rumah kardus untuk sementara waktu, dan rencananya kami akan
pergunakan untuk membeli gribig (annyaman yang berbahan bambu) baru, besok.
“Bu, maafkan kakak yah. Kalau uang simpanan
kita akan ku pergunakan untuk membeli gribig dan mulai membangun rumah untuk
berteduh kita. Walau tidak sebagus dan selengkap dulu. Kakak pasti usaha lebih
giat lagi untuk mencari uang dan mewujudkan cita-cita ibu.” Tukasku.
“Keputusan mu benar Nak kita harus
mementingkan kebutuhan yang seharusnya kita penuhi dahulu. Masalah haji itu
masih bisa di tunda, mungkin Allah belum memanggil ibu untuk mengunjungi
Baitullah.”
***
Ke esokan harinya…
Langsung mendatangi agen koran untuk
mengedarkannya. Selepasnya menjual Koran aku segera bergegas mendatangi rumah
Bu Aminah untuk manepati undangannya. Di sambutlah aku dengan keindahan, sikap
yang ramah mampu membuat aku lupa bahwa hari ini aku harus mencari bahan-bahan
untuk membangun rumah baru.
Tapi Bu Aminah malah ingin main ke
rumahku seraya bilang “Masak kamu saja yang tahu rumah Ibu, Ibu juga boleh dong
tahu rumah Kamu.”
Walau aku sudah menolak dengan alasan
ini dan itu namun, Bu aminah kekeh ingin main kerumah. Jadi mau tidak mau harus
menurutinya. Jujur baru pertama kalinya aku menduduki mobil mewah seperti ini
sembari senyum-senyum mengingat bahwa aku biasanya naik angkot yang kondisinya
sudah rentah.
Sesampainya di depan rumahku. Bu
Aminah sejenak tertegun tanpa kata. Entah mungkin ia kaget melihat kondisi
keluargaku. Namun tak berselang waktu lama ku ajak Bu Aminah masuk. “Silahkan
masuk bu, maaf inilah kondisi rumahku.” Maka duduklah Aku, Ibu dan Bu Aminah.
Setengah tak percaya, hatinya pilu
melihat kenyataan bahwa anak yang dulu telah menyelamatkan nyawa anaknya itu
ternyata tinggal di sebuah gubuk kardus. Setelah berbincang sebentar langsung
Bu Aminah bilang “Nak, tolong jangan menolak bantuan Ibu lagi yah. Ibu hendak
memberikan rumah untuk kamu dan keluargamu dan khusus untuk kamu Ibu sudah
pesankan tiket umroh bareng dengan anak Ibu.”
“Subhanallah… Sungguh Allah menepati
janjinya yang tertera dalam kitab suci sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan dan Allah memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
Lanjutku “tapi maaf Bu bolehkah jatah rumah itu ditukar dengan tiket haji?”
“Dengan senang hati, Nak.”
Kami langsung sujud syukur, binar
bahagia mewarnai hari ini sungguh Allah menunjukkan kebesarannya. Memang
istiqomah itu lebih baik dari seribu karomah, dan sholawat Nariyah itu
penghantar rahmat
#tamat
Tidak ada komentar :
Posting Komentar