Minggu, 06 Juli 2014

Sholawat Penghantar Rahmat


Sholawat Pengantar Rahmat
Oleh : Juhaenit Zamzami


Cahaya bintang gemintang berpendar menyibak awan, yang berarak bagai lukisan dalam kanvas malam yang bermanadikan rembulan. Angin seakan mengabarkan tentang kesunyian dan kesepian hidupku tanpa seorang Ayah. Suaraku memekik tertahan dan hanya tertelan sorotan lampu keheningan. Malam yang indah berteduh di bawah cahaya rembulan, tatkala hati masih dihimpit kerinduan dan dicerca kepedihan. Tertawan jiwaku oleh kenyataan pahit nan memilukan.
Masih terlihat jelas dalam ingatanku dua tahun silam, tragedi yang merenggut nyawa Ayah tercinta. Waktu itu Aku hendak memberitahukan kabar gembira dari sepucuk surat putih di balik amplop berukuran sedang yang baru saja kuterima dari sekolah. Namun tragisnya bukan kabar bahagia yang kuberikan, melainkan kabar duka yang kuterima. Ayah tertabrak mobil truk saat mencari pelanggan dari rutinitas membecaknya.
Lamunanku tentang kisah pedih itu buyar seketika, manakala suara sendu Ibu memanggil. Aku yang saat itu sedang menikmati indahnya bintang, dengan bersandar di pohon mangga tepat di depan rumah itu terkejut. “Kak sini!” seru Ibu sambil melambaikan tangan. Ku kayuh langkah gontai yang langsung menghampiri Ibu yang kian mematung di depan pintu menunggu kedatanganku.
“Kak, Adik panasnya tidak turun-turun. Tolong panggilkan becak, kita  langsung bawa adik ke Rumah Sakit.” tukas Ibu setelah kusampai di hadapannya.
Tanpa basa-basi Aku langsung bergegas, dan tak lama kemudian kembali membawakan becak guna mengantarkan Adik ke Rumah Sakit. Sesampainya di sana ternyata Bu Dokter bilang bahwa adikku terkena demam berdarah, mau tidak mau harus dirawat beberapa hari. Saat aku membayar biaya pendaftaran dan menebus obat di Apotek yang tersedia di Rumah Sakit itu, tak sengaja bertemu dengan Ibu Aminah.
Ibu itu masih ingat kalau aku yang dulu pernah menyelamatkan anaknya, nah dari situlah aku mengenal ibu paruh baya yang kini berdiri anggun di hadapanku. Beberapa menit aku hanyut dalam perbincangan di lorong rumah sakit yang akhirnya tersadarlah kalau aku harus segera memberikan obat ini untuk adik di sana. Ketika ingin pamit Ibu Aminah bertanya di ruang mana adik di rawat, karena Bu Aminah ingin sekali berbincang lebih banyak lagi sekaligus bersilaturahmi dengan ibu dan adikku.
Adzan Isya berkumandang dan kami putuskan untuk bergantian jaga, Ibu memintaku untuk sholat terlebih dahulu. Aku langsung beringsut keluar dan menghampiri sebuah masjid yang berada di samping area taman, di situlah aku menjalankan kewajibanku sebagai muslimah. Usai sholat dan dzikiran di sambung dengan berdoa meminta kesemebuhan adik, lantas tak pernah ketinggalan semenjak usiaku masih sekitar 13 tahun, aku selalu istiqomah mengamalkan sholawat Nariyah. Melalui Ustadzah Husna aku mendapat amalan sholawat nariyah yang aku baca selepas sholat fardhu sebanyak minimal 3 dan maksimal 7 kali. Katanya itu mampu mengundang banyak faedah dan diantaranya itu untuk mampu berhaji kemudian aku pun sami`na wa atho`na (tunduk dan patuh).
Seusai sholat, kini waktunya giliran aku yang jaga adik. Di sela keheningan dalam sebuah kamar yang berisi dua pasien itu. “Kak, maafin Adik ya? Gara-gara Adik, Ibu dan Kakak jadi susah.” Pekik adik memecah kebekuan sembari memegangi tanganku. Membuat desir dalam hati yang mampu menyumbat aliran darah dalam sekejap.
“Jangan bicara begitu, Dik. Tidak ada yang menyusahkan, hanya saja kita sedang di pandang Allah dan diberi sedikit cobaan untuk membesarkan dan mengangkat derajat kita.” Mencoba membesarkan hati adik.
“Tapikan Kak, pasti biaya rumah sakit itu mahal, lagian kita tak punya banyak uang selain uang tabungan kakak yang hendak untuk ibadah haji ibu.”
 “Tenang Dik itu urusan Kakak, sekarang yang penting Adik sembuh dan kembali bersekolah. Ok!” Sembari menghela nafas panjang.
Terang saja semenjak Ayah tiada maka aku yang berada mendampingi dan membantu ibu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bukan hanya memikirkan untuk makan, namun untuk biaya pendidikan adik dan juga tabungan ibu untuk berhaji. Keseharianku membantu menjual gorengan dan nasi bungkus yang di buat ibu, lalu siangnya ku gunakan untuk menjual koran di lampu merah dan tak jarang pula aku ikut mengamen di situ bersama teman sebaya. Berkejaran dengan petugas Satpol PP itu hal yang biasa. Gumamku dalam hati
Tiba-tiba terdengar suara lembut dari belakang hordeng pembatas yang berwarna biru telor asin, “Assalamu`alaikum…” Suara yang tak asing di telinga, yah itu Bu Aminah yang tadi bilang ingin menengok adik. Aku langsung menghampirinya takut kalau Ibu mengira salah ruangan. Berhubung ada perlu jadi Ibu Aminah hanya menengok sebentar dan mendoakan semoga cepat sembuh sembari memberikan sekranjang buah dan secarik kertas yang di dalamnya sudah tertulis alamat rumahnya. Seraya bilang “Setelah adik sembuh nanti, datanglah ke rumahku.”
***
Semilir angin pagi berhembus menerobos ruangan dan embun mulai membelai dedaunan. Cahaya bintang gejora tampak berkedip di balik awan. Fajar di ufuk timur mulai memancarkan sinarnya. Suara adzan Shubuh pun menggema memecah kesunyian, dan sesekali ku dengar kicau burung-burung menyanyikan kidung keceriaannya. Sungguh keheningan yang terselip dalam binar kebahagiaan keluarga kami, pasalnya hari ini adik sudah diizinkan pulang.
Sepulangnya dari masjid aku dapati Mang Amang dan Ibu yang tengah duduk di kursi tunggu di depan ruangan adik.
“Waaah ada tamu, Mang Amang ada yah? Kenapa Mamang tidak masuk?” Tanyaku.
Hening, baik Mang Amang ataupun Ibu tak ada yang mengeluarkan satu kata. Aku yang tidak tahu apa-apa semakin bingung melihat kebisuan mereka.
“Ibu, Mamang, sebenarnya ada apa sih?” Sembari memandangi mereka bergantian. Lagi-lagi hanya diam yang ku temukan, membuatku semakin penasaran dengan keadaan yang tengah terjadi.
Beberapa detik kemudian Mang Amang angkat suara “Mamang hanya memberi kabar tentang…” Suara mang amang terhenti.
“Tentang apa Mang?” Hardikku penasaran.
“Hmm… Anu, itu…” Mang Amang menjawabnya dengan bahasa yang sulit aku mengerti.
“Anu apa Mang?” Desakku yang mulai tidak sabar menanti jawaban. Sembari mengernyitkan dahi kulanjutkan pertanyaanku. “Ayo bilang Mang, ada kabar apa sehingga Mamang repot-repot datang kemari. Bukannya siang juga kami bakal pulang?”
“Iya, ja ja jadi gini. Hmm… Mamang cuma mau kasih kabar kalau rumahmu kebakaran.” Dengan terbata-bata Mang Amang pun menyampaikan kabar buruk yang kini tengah menimpa keluargaku.
“Innalillahi… Cobaan apa lagi yang kini keluarga kami terima, Allah jika menurut-Mu kami sanggup memikulnya maka kuatkan kami, aku tahu Engkau tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya.” Desahku membatin.
Tidak terasa air mataku menetes membasahi pipi, tertegun memaku, dan lunglai. Inilah tubuhku yang ambruk ke lantai. Mang Amang pun segera membimbingku untuk bangkit dan mendudukkan di sebelah Ibu yang kini terisak. “Sabar Nak, Mamang tahu apa yang kalian rasakan. Semua warga juga sudah berusaha memadamkan api saat rumahmu terbakar, namun sayang sekali api itu baru bisa di padamkan saat rumah itu sudah rata dengan tanah.” Sembari mengusap punggungku Mang Amang menjelaskan  kejadiannya.
Aku segera menyeka air mata dan mencoba untuk tegar lalu kepada Mang Amang ku ucapkan terima kasih atas informasinya. Dengan hati yang berkecamuk aku coba sunggingkan senyum, namun usahaku gagal. Langsung ku peluk ibu, dengan bersimbah air mata maka kami pun larut dalam duka.
Setelah Mang Amang pergi tiba-tiba kami di kagetkan dengan suara adik “Kakak kenapa? Kok nangis? Kakak tidak suka ya Adik pulang ke rumah?”pertanyaan polos dari adik mampu melepaskan pelukan eratku.
“Bukan begitu, Sayang… Hanya saja…” Ibu tidak mampu meneruskan kata-katanya.
“Hanya apa Bu?”
“Dik, maafkan kami.” Sembari memegang tubuh mungil adik, aku melanjutkan kata-kata ibu “Ia dik, kamu harus tahu bahwa semalam rumah kita dilalap si jago merah.”
“Berarti kita tidak punya rumah dong Kak?”
“Ia Dik, tapi jangan khawatir kakak akan usahakan sekuat kakak untuk membangun rumah lagi.”
Adik langsung nangis dan bergumam “Kenapa sih Kak, Allah itu suka banget memberi cobaan kepada keluarga kita, kenapa nasib kita sudah miskin masih di coba dengan kehilangan rumah.”
“Sabar Nak. Allah hanya ingin menguji iman kita. Sebagai hamba Allah yang taat kita tidak boleh su`udzon (berprasangka buruk) kepada Allah.” Jelas ibu.
***
Sesampainya di depan rumah yang sekarang rata dengan tanah.
Berhari, berbulan, bahkan bertahun, aku tabungkan uang hasil kerjaku untuk menghajikan ibunda tercinta. Pas tabunganku sudah mencapai Rp 3.600.000. Aku mulai bertanya bagaimana cara mendaftarkan haji tak disangka rumah gubuk yang berbahan gribig itu hangus terbakar. Hatiku membeku menatap sebuah kenyataan, rumah sebagai tempat berteduh sekaligus harta peninggalan Ayah satu-satunya itu ludes dimakan si jago merah. Aku menerawang jauh.
“Duhai Allah Yang Maha Pengasih. Kiranya apakah yang harus aku lakukan sekarang?” Sembari bersandar di pohon beringin dekat dengan masjid, kutatap langit dan jauh menerawang. sungguh dilanda kebingungan yang mendalam karena aku butuh rumah untuk singgah namun uang itu adalah tabungan yang hendak ku pergunakan untuk berhaji ibu. Dilema yang melanda kian merobek kedamaian sanubari mengoyak ke imananku yang kian tertarik oleh arus yang menghempaskan ke tanah tandus.
            Langkah gontai menerobos sinar mentari yang kian erat memeluk tubuhku. Aku segera mencari alternatif awal dengan ide membuat rumah kardus untuk sementara waktu, dan rencananya kami akan pergunakan untuk membeli gribig (annyaman yang berbahan bambu) baru, besok.
            “Bu, maafkan kakak yah. Kalau uang simpanan kita akan ku pergunakan untuk membeli gribig dan mulai membangun rumah untuk berteduh kita. Walau tidak sebagus dan selengkap dulu. Kakak pasti usaha lebih giat lagi untuk mencari uang dan mewujudkan cita-cita ibu.” Tukasku.
            “Keputusan mu benar Nak kita harus mementingkan kebutuhan yang seharusnya kita penuhi dahulu. Masalah haji itu masih bisa di tunda, mungkin Allah belum memanggil ibu untuk mengunjungi Baitullah.”
***
            Ke esokan harinya…
            Langsung mendatangi agen koran untuk mengedarkannya. Selepasnya menjual Koran aku segera bergegas mendatangi rumah Bu Aminah untuk manepati undangannya. Di sambutlah aku dengan keindahan, sikap yang ramah mampu membuat aku lupa bahwa hari ini aku harus mencari bahan-bahan untuk membangun rumah baru.
            Tapi Bu Aminah malah ingin main ke rumahku seraya bilang “Masak kamu saja yang tahu rumah Ibu, Ibu juga boleh dong tahu rumah Kamu.”
            Walau aku sudah menolak dengan alasan ini dan itu namun, Bu aminah kekeh ingin main kerumah. Jadi mau tidak mau harus menurutinya. Jujur baru pertama kalinya aku menduduki mobil mewah seperti ini sembari senyum-senyum mengingat bahwa aku biasanya naik angkot yang kondisinya sudah rentah.
            Sesampainya di depan rumahku. Bu Aminah sejenak tertegun tanpa kata. Entah mungkin ia kaget melihat kondisi keluargaku. Namun tak berselang waktu lama ku ajak Bu Aminah masuk. “Silahkan masuk bu, maaf inilah kondisi rumahku.” Maka duduklah Aku, Ibu dan Bu Aminah.
            Setengah tak percaya, hatinya pilu melihat kenyataan bahwa anak yang dulu telah menyelamatkan nyawa anaknya itu ternyata tinggal di sebuah gubuk kardus. Setelah berbincang sebentar langsung Bu Aminah bilang “Nak, tolong jangan menolak bantuan Ibu lagi yah. Ibu hendak memberikan rumah untuk kamu dan keluargamu dan khusus untuk kamu Ibu sudah pesankan tiket umroh bareng dengan anak Ibu.”
            “Subhanallah… Sungguh Allah menepati janjinya yang tertera dalam kitab suci sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan dan Allah memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” Lanjutku “tapi maaf Bu bolehkah jatah rumah itu ditukar dengan tiket haji?”
            “Dengan senang hati, Nak.”
            Kami langsung sujud syukur, binar bahagia mewarnai hari ini sungguh Allah menunjukkan kebesarannya. Memang istiqomah itu lebih baik dari seribu karomah, dan sholawat Nariyah itu penghantar rahmat

#tamat

Tidak ada komentar :

Posting Komentar